Rabu, 04 Juli 2012

Hujan Sebelah Mana yang Menyakitimu

Senja ini, seperti biasa, kita nikmati bersama. Kamu dengan secangkir kopi dan aku hanya segelas air putih. Di tempat yang tak lagi asing bagi kita. Di tempat yang memang selalu ada. Di pikiran masing-masing. Meskipun tak bertatap muka, aku tahu kau memang sedang menyesap kopimu. Perlahan tapi pasti. Layaknya kau menghadapi hidup ini.

Kamu "Terkadang hujan menyakitiku."

Aku "Apa maksudmu? Hujan hanyalah air yang turun dari langit. Bukan jarum. Terlebih lagi batu."

Kamu "Bukan itu maksudku. Terkadang hujan menarik paksa kenangan yang tak ingin kuingat."

Aku "Ah aku paham sekali. Kau boleh saja melupakan masa lalumu. Tapi jangan lupa ambil pelajaran darinya. Hidup ini penuh lubang, Sayang. Tak sepatutnya kamu, atau aku, atau siapapun itu, terjatuh pada lubang yang sama."

Kamu "Terkadang, hujan juga membuatku samar-samar menangis. Padahal aku lelaki dan terlihat cengeng sekali jika menangis karena masa lalu."

Aku "Ketika ibumu melahirkanmu, apakah ia tidak menangis? Bagaimana dengan ayahmu? Dia bahagia. Tetapi menangis jua. Padahal kau berani bersumpah bahwa ayahmu adalah lelaki paling kuat."

Kamu "Mereka menangis bahagia, Sayang. Sementara aku? Aku menangis lantaran merasa tersakiti. Bahkan karena masa laluku sendiri."

Aku "Tuhan telah menciptakan semuanya seseimbang mungkin. Ada aku, ada kamu. Lelaki dan perempuan. Luka dan obatnya. Sedih maupun senang. Tuhan tak menakar seberapa banyak kau boleh menangisi dirimu, atau orang lain. Toh jika sedang berdoa kau menangis juga, kan? Apakah kau berdoa saat senang saja? Kurasa tidak. Kau lelaki yang baik, Sayang. Tentulah ada rencana Tuhan dibalik masa lalumu itu.

Kau hanya diam. Sampai kau menghilang dari pikiranku. Bahkan aku tak percaya bahwa percakapan barusan sungguh-sungguh tak nyata. Kembali kuteguk air putihku. Selamat menikmati kopimu.


19.13
04072012

Minggu, 01 Juli 2012

Kupinang Engkau dengan Nagaku

Aku berlaga di depanmu layaknya ksatria. Bersama naga, aku terbang melintasi cakrawala demi membuktikan sesuatu. Aku mencintaimu, perempuanku.

Sering kita pergi bersama. Aku, kamu, nagaku. Maaf, Sayang. Kendaraan berhargaku saat ini hanya sebatas seekor naga. Mungkin nanti, ketika kita hidup bersama, kubelikan engkau sebuah kereta kuda. Jika perlu, aku yang akan menariknya. Membawamu kemanapun kau suka.

Aku tak ingin terlalu lama mengulur waktu. Takut-takut ada yang melukaimu. Berbekal seekor naga, kudatangi segera romomu. Meski ragu, aku katakan bahwa aku mencintai putrinya. Kamu. Jadilah, kupinang engkau dengan nagaku.


18.32
01072012