Rabu, 30 Januari 2013

Om-Tante


Teruntuk kalian yang memutuskan berpisah dengan jalan cerai.

Hai, om-tante. Kali ini ide saya memilih kalian. Siapapun itu. Di manapun kalian berada. Semuanya berawal dari percakapan yang saya dengar beberapa waktu lalu. Perihal anak broken home yang kehidupannya (bisa dibilang) kacau. Tidak disiplin, suka bolos sekolah, suka berbohong.
Om-tante, apa yang kalian rasakan saat sedang asik-asiknya memadu kasih? Di mana om berjuang untuk mendapatkan hati tante. Lantas tante dengan lapangnya menerima om sebagai kekasih. Waktu berjalan, kalian saling menyamankan satu sama lain. Dengan amat sangat matang, kalian memutuskan menikah. Om pergi menemui orang tua tante. Dan voila! Kedua keluarga menyetujui hubungan kalian dan menyegerakan peresmian. Sebut saja, pernikahan. Ingat bagaimana saat kalian fitting baju pengantin, memesan undangan, katering makanan dan menyusun daftar kawan dan kolega yang akan kalian undang? Masih ingatkah itu semua? Apa yang kalian lakukan semalam sebelum upacara sakral itu berlangsung? Saling memberi kabar kah? Atau malah terjaga sampai waktunya tiba? Masih ingat, om, tante? Saat hari H di depan mata, seberapa tampan dan cantikkah kalian berdua? Pangling? Wajar. Yang saya dengar sih pengantin memang dibikin beda dari biasanya. Entah mitos atau gosip. Sampai tiba pada saat-saat yang menjadi jantung dari upacara ini. Ijab qabul. Dalam satu tarikan nafas. Saya selalu membayangkan jika saya ini seorang lelaki, sebagaimana lihainya lidah saya dalam melafazkan satu kalimat penyatu yang nantinya akan menghalalkan hubungan kita. Tante, bagaimana rasanya setelah om dengan lancarnya berhasil melafazkan itu semua? Lega kah? Pasti :)

Bulan demi bulan berlalu. Om berusaha menorehkan karya di rahim tante. Kalian berdoa. Agarnya buahnya matang. Suatu hari tante mual-mual. Kalian bahagia. Ini merupakan tanda, karya kalian akan segera bernyawa. Waktu terus berlari. Sembilan setelahnya, buah kalian lahir ke dunia. Kali ini lelaki. Calon pejantan yang lebih dari tangguh. Hidup kalian makin terasa sempurna. Dunia bagai milik kalian bertiga. Larinya waktu semakin cepat. Om-tante berbuah lagi. Sekarang perempuan. Calon putri yang cantiknya menandingi bidadari khayangan.

Tahun demi tahun berlalu. Mulai ada kerikil yang menghadang. Om-tante bertengkar kecil. Dengan anak-anak yang mengintip dari kamar. Mereka bingung. Salah apa sampai terjadi keributan itu. Lama kelamaan pertengkaran semakin sering. Bahkan tumpahnya air mata pun menjadi bagian penting. Anak-anak semakin bingung. Sedih. Tak mengetahui keadaan macam apa ini.

Om-tante terus bertengkar. Satu kalimat saja bisa memancing kemarahan. Ternyata bukan hanya batu kerikil yang menghadang kalian. Ada batu gamping, konglomerat, batu apung dan segala batu-batuan lainnya. Kalian seakaan sulit untuk dipersatukan lagi. Tumpukan batunya sudah terlalu tinggi sehingga tak ada cara yang bisa meruntuhkannya. Kecuali dengan berjalan sendiri-sendiri. Dengan berjuta-juta pertimbangan, kalian memutuskan untuk berpisah. Dalih kalian adalah demi kebaikan bersama. Bersama siapa yang kalian maksud?  Anak-anak kalian tentu tak bersama lagi. Sampai pada akhirnya kalian benar-benar berpisah. Apakah sebelum memutuskan semuanya, kalian pernah bertanya pada anak-anak, setujukah mereka dengan jalan ini? Pernah kah? Atau malah sama sekali tak sempat? Atau kalian malah sengaja tak meminta persetujuan mereka karena kalian pikir mereka hanya anak kecil yang tak seharusnya dimintai persetujuan atas ini?

Semuanya dimulai. Kalian tak bersama lagi. Masing-masing sendiri. Kalian terpisah. Pun anak-anak kalian. Keceriaan memudar. Batin mereka menggusar. Kenapa harus ada yang berpisah padahal Tuhan inginnya kita menyatu? Coba om-tante pikir kembali. Percayalah, taka da perpisahan yang benar-benar baik. Semuanya tergantung waktu.

Salam,
U

*Hari ke-17 #30HariMenulisSuratCinta

Minggu, 27 Januari 2013

Kalian

Hai, guys. Apa kabar? Hampir sebulan kita gak ketemu, men! Kangen gue gak? :| Kalian gak perlu tau perihal #30HariMenulisSuratCinta. Kalian cuma perlu tau bahwa gue tulis surat ini. Untuk kalian. Iya. Gak tau kenapa tetiba pengen aja. Siapa tau kalian juga emang lagi kangen.

Gimana liburannya? Yang di Bogor, Batam, Depok, Jakarta, Bekasi, Medan, Lampung, Riau, Palembang, Bandung? Asik banget pasti setelah lama gak ketemu sama keluarga, pacar, sahabat. Gue inget, waktu kita adain acara di rumah Mbak Iyas. Pas malem-malem kalian mau pulang, sedih gue rasa –yang bilang gue lebay langsung tunjuk tangan!- Tapi itu yang gue rasain. Percikan aja kali ya. Satu semester udah bareng-bareng terus. Tiap hari ketemu dari pagi sampe sore. Bahkan kadang sampe malem. Ngerjain UTS dan UAS Bahasa Arab pun bareng-bareng. How sweet. Meskipun kita tau itu salah. Apalah daya hahaha.

Btw, nilai Statistika gue C. No problem. Udah feeling. Pasti nyusruk deh Statistika gue. Selamat buat kalian yang dapet nilai indah. Dan semangat buat yang dapet kurang indah. Ini baru awal. Bisa diperbaiki. Sejatinya Tuhan emang pengen liat kita untuk belajar lebih keras lagi. Sebelum terlambat.

Oh iya, gue seneng kalo liat kalian rame di Twitter. Berasa lagi di kelas. Tapi di Twitter kita bisa lebih bebas. Dari situ gue yakin, kita terlahir sebagai makhluk kreatif. Iyalah, Tuhannya aja MahaKreatif. Eh, Adam-Febi apa kabar ya? Masih pacaran kan? Heuheuheu. Di kelas biasanya kita ngapain ya? Aha! Di kelas itu pertama kali gue nonton Wedding Dress! Nangis! Nangis banget malah hahaha. Aha! PES, men, PES!!! Gue main PES juga di kelas ini. Oh iya, inget gak sih waktu acara Psychoclassmeet? Drama! Belakangan gue baru tau kenapa drama kita gak menang. Menurut gue, alur cerita kita terlalu bertele-tele dan tidak to the point. Cuma Karena kita seneng aja, makanya gak ngerasa. Bego emang. Tapi lucu.

Sekarang ini kita lagi ketar-ketir nungguin nilai Sosio yang tak kunjung muncul di AIS. Kemaren-kemaren ribet masalah validasi bayaran semester, prosedur isi KRS, dan naik turunnya IP. Percaya deh. Beberapa bulan ke depan kita akan ketawa-ketawa ketika inget kebegoan kita sekarang. Padahal semuanya gampang. Tapi kita mikirnya kejauhan.

Yakin gak kita bakal lulus bareng-bareng dalam empat tahun? Yakin lah! Meskipun gak ada yang bisa jamin dua detik lagi kita masih hidup atau nggak.

Tertanda,
Ulfa

*Hari ke-15 #30HariMenulisSuratCinta

Sabtu, 26 Januari 2013

Surat Singkat dari Selatan

Salam.

Aku dengar dari orang terdekatmu, bahwa kamu melakukan perjalanan ke utara. Seketika aku merasa kecewa. Tak ada kabar barang setitik yang sampai padaku. Padahal kau bisa beritahu aku perihal kepergianmu bahkan satu jam sebelum kau berangkat. Ada merpati yang selalu setia mengantar surat-surat kita. Tapi kau memilih untuk tidak melakukannya. Lantas pergi begitu saja. Entah berapa lama. Entah kembali atau terpaku di utara sana.

Lewat surat ini aku hanya ingin kabari bahwa aku baik-baik di sini. Di selatan. Tempat yang jauh sekali dari jangkauanmu sekarang. Kita memang terpisah. Tapi langit kita masih sama. Langit di selatan tetap cerah. Sebagaimana lukisan yang pernah kau hadiahkan padaku. Di sana tertuang serabut awan tak beraturan. Dengan warna biru laut yang berhasil kau padukan dengan putih nan lembut.

Bagaimana kabarmu di utara? Sudahkah kau temukan apa yang kau cari? Aku bingung. Mungkin sampai surat ini sampai ke tanganmu entah berapa lamanya, aku belum tau apa maksudmu melakukan perjalanan sejauh itu. Ke utara. Tempat yang jauh sekali dari jangkauanku sekarang. Jika sejatinya kau membutuhkan tempat pulang, maka temui ibumu saja. Di rahimnya kita pernah merasakan hangat yang melebihi pelukan. Cium tangannya, kau akan rasakan sedalam-dalamnya rindu.

Sudah, lanjutkan saja. Jika telah kamu selesaikan perjalanan ke utara, jangan lupa temui aku di selatan.

Salam rindu dari selatan.

*Hari ke-14 #30HariMenulisSuratCinta

Minggu, 20 Januari 2013

Penjual Buku Keliling

Assalamualaikum. Pak? Dua hari yang lalu saya lihat bapak lagi neduh di masjid. Kebetulan saya juga ada di situ. Nemenin ibu saya ngajar TPA. Setelah memperhatikan sedikit, kemudian saya tau ternyata bapak ini penjual buku keliling. Saya bisa lihat dari gembolan yang bapak bawa ada Al-Qur’an dan buku-buku agama lainnya. Setengah jam berlalu. Hujan mulai reda. Lalu bapak memulai lagi perjalanan yang nampaknya masih panjang. Demi makan anak-istri dan tidur nyenyak di ranjang.

Sudah berapa uang yang bapak dapat hari ini? Sudah cukup untuk makan sehari nanti? Ah mungkin saya memang tidak merasakan penderitaan yang bapak alami. Sejatinya kita sama, pak. Cuma saya dan keluarga lebih beruntung. Bapak harus percaya. Keberuntungan bapak lagi disimpan baik-baik sama Tuhan, untuk nanti diberikan pada waktu yang tepat. Tuhan sedang ingin lihat seberapa kuat bapak bertahan.

Pak, saya yakin bapak telah banyak berdoa agar diberikan kehidupan yang cukup, pekerjaan di kantor, uang yang banyak, bahkan kendaraan mewah. Berkali-kali bapak sudah meminta. Tapi semuanya belum datang jua. Pak, percayalah. Semua doa bapak sudah dikabulkan oleh Tuhan, dalam bentuk yang lain. Seperti anak bapak yang berprestasi, mungkin. Atau kesehatan yang bapak dan keluarga rasakan. Tak ada doa yang tak didengar, pak. Saya rasa bapak paham perihal itu. Bapak tau kenapa Tuhan tidak memberikan bapak pekerjaan di kantor? Bisa jadi jika bapak kerja di kantor, bapak terlalu sibuk dengan urusan dunia sehingga lupa shalat jamaah di masjid. Semuanya bisa jadi mungkin, pak.

Semoga bapak dan keluarga selalu dilindungi dari segala hal yang membahayakan. Semoga aspal jalanan ini turut menyertai kepergian bapak mencari rejeki.

Salam.

*Hari ke-7 #30HariMenulisSuratCinta

Sabtu, 19 Januari 2013

Jika Aku Seorang Lelaki

Salam.

Jika aku adalah seorang lelaki, maka benar adanya aku tuliskan ini untukmu, perempuanku.

Apa kabarmu, Sayang? Anggap saja aku baru kembali setelah bertahun-tahun mencoba peruntungan diri. Aku mencari kesenangan. Ternyata kesenangan ada di jariku. Aku menulis. Dan aku senang. Sesederhana itu saja rupanya. Aku mencari jalan pulang. Ternyata jalannya sudah ada. Setapak demi setapak. Tinggal aku yang menjejakinya dengan gagah.

Ibumu apa kabar? Daster bunga-bunga yang warna ungu itu masih ada? Yang aku tau itu adalah pakaian kesukaannya. Dan aku tau pula itu hadiah darimu sebagai kado ulang tahunnya saat usia beliau tak lagi muda. Aku merindukan ibumu.  Layaknya aku rindu ibuku sendiri. Aku percaya, istimewanya setiap wanita ada pada rahim mereka. Maka aku tak heran jika kamu ingin jadi seperti ibumu. Yang rahimnya hangat bahkan tanpa selimut dan susu.

Apa saja yang kamu kerjakan selama ini? Aku mengerjakan banyak hal ketika jauh darimu. Aku memotong kayu semata agar aku bisa membangun rumahku bersamamu. Rumah kita. Aku memotong rumput agar aku paham seberapa tinggi rumput liar harus dipangkas sehingga halaman rumah kita tetap cantik, seperti kamu. Aku memasak sendiri agar ketika kamu jatuh sakit kita masih bisa makan sup hangat bersama. Aku suapi kamu. Dua detik kemudian kamu sembuh dari sakitmu. Sesederhana itu.

Ah aku terlarut sekali dalam perbincangan tentang kita. Tapi aku tetap ingin punya anak lima, sementara kamu hanya ingin dua. Ini lucu. Kita mengkhayal sejauh mata memandang, sepanjang pikiran mengenang. Aku tak takut bermimpi setinggi apapun, asalkan itu bersamamu. Jatuh pun masih denganmu. Selain lucu, ini juga indah. Tuhan menyaksikan kita dan tersenyum dari singgasana-Nya.
Sampai detik ini, masihkah kamu mengkhayalkan aku? Jika masih, maka kamu tetap perempuanku.

Salam,
Lelakimu.

*Hari ke-6 #30HariMenulisSuratCinta

Kamis, 17 Januari 2013

(Rasanya) Rumput Tetangga Lebih Hijau


Teruntuk kalian,
Yang merasa rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau.

Apa kabar kalian? Masihkah sibuk memperhatikan rumput di halaman? Masihkah bersitegang satu sama lain lantaran memutuskan rumput siapa yang lebih hijau? Saya heran. Hidup ini rumit. Mengapa pula ada saja yang meributkan perihal rumput-yang-lebih-hijau. Rumput-rumput tak bersalah. Hanya tumbuh dan mencari tempat berteduh. Bahkan mereka tumbuh bukan atas kehendak kalian, kan? Hijau itu Tuhan yang memutuskan. Selebihnya kita hanya menyaksikan.

Biasanya, rumput di halaman tumbuh begitu saja. Tanpa diminta. Tanpa disuruh. Sama seperti rindu yang hadir tetiba. Kita diam. Tapi sesungguhnya mereka ada. Dalam pikiran, hati, jantung, lambung bahkan usus. Pada semua organ yang kita punya. Sadarkah? Saya rasa tidak. Alam bawah sadar kita yang menjaganya. Seperti tanah yang dengan sukarela ditumbuhi rumput-rumput liar.

Hujan begini sempatkah kalian menengok keadaan rumput tetangga? Tenggelamkah mereka? Makin hijaukah? Atau terhanyut bersama hujan? Saya yakin kalian lebih memilih berdiam lebih lama di balik selimut dan memimpikan untuk menanam singkong saja keesokan harinya semata-mata agar kalian tak perlu memikirkan rumput-siapa-yang-lebih-hijau lagi. Saya harap ketika mulai memasuki usia senja, kalian tak lagi meributkan perihal rumput-siapa-yang-akan-lebih-dulu-mati.

Sekian saja. Saya tak terlalu paham perihal tanaman. Termasuk bagaimana membedakan rumput mana yang terlihat lebih hijau. Semoga semakin segar!

Jadi, rindu siapa yang rasanya lebih hijau?

Salam,
Tetangga kalian

Senin, 14 Januari 2013

Ibunya Jodohku

Teruntuk,
Ibunya jodohku.

Assalamualaikum, Bu. Aku tulis ini ketika umurku jelang 19 tahun. Ternyata pagi juga yang mengidekan sebuah surat untukmu. Mungkin nanti, ketika saatnya kita bertemu, aku akan tunjukkan blogku dan silakan engkau baca surat ini.

Ini lucu bagiku. Padahal aku belum mau menikah. Masih mahasiswa semester satu. Meskipun tak menutup kemungkinan bagi siapapun untuk menikah di umur sepertiku. Tapi apa daya? Ideku memilihmu. Tentu kita sama-sama menyadari kita belum saling kenal sampai nanti waktunya tiba. Jadi, bagaimana tingkah anakmu selama ini, Bu? Persiskah denganku? Karena yang aku dengar adalah apa yang aku beri, itulah yang aku dapat. Jika aku memberikan cinta kepada orang tuaku, apakah anakmu pun begitu? Semoga kebaikan selalu mengikuti kita semua, Bu.

Bu, jika sebelum anakmu meminangku dan engkau tau bahwa aku suka bangun siang, apakah engkau akan mengizinkan anakmu datang padaku? Jika porsi makanku melebihi porsi makan normal seorang wanita, apakah kau akan tetap membiarkan anakmu hidup bersamaku? Jujur saja, Bu. Tak ada yang lebih pahit ketimbang kejujuran yang terus dipendam.

Siapapun dan dimanapun engkau, Ibu, plis jangan menyesal ketika Tuhan memilihkanku sebagai pendamping anakmu. Ibuku pun pasti tak pernah menyesal jika ternyata jodohku adalah anakmu. Biar semua pertanyaan ini dijawab oleh waktu. Semoga engkau sehat selalu. Sampai kita bertemu dan kupersilakan engkau membaca blogku.

Salam hangat,
Jodoh anakmu


*Hari ke-1 #30harimenulissuratcinta 2013