Minggu, 18 November 2018

Potensi Kemanusiaan

Manusia dianugrahi banyak banget potensi, baik itu yang dibawa sejak lahir, maupun yang dilatih dan diasah semasa hidupnya. Bentuk potensinya bermacam rupa, ya kecerdasan, kepribadian, kemampuan membaca situasi, keahlian menempatkan diri, dll. Kalo diminta untuk menjabarkan, saya yakin kita semua bisa sebutkan banyak nama untuk potensi-potensi itu. Potensi ini yang nantinya menghasilkan orang cerdas, orang licik, orang mudah tertipu, orang banyak membantu, dan orang-orang yang lain.

Bergeser dari semua potensi yang terbayang dalam pikiran, manusia nggak terlepas dari kekurangan. Tapi di dalam lubuk hati saya yang terdalam, ada keyakinan yang menyebutkan bahwa sesungguhnya manusia ingin menjadi pribadi yang lebih baik dari masa ke masa. Bahkan sekalipun kemungkinannya kecil, tapi setidaknya kemauan itu ada, mau jadi lebih baik. Meskipun belom jadi baik sedikit pun, setidaknya ada kemauan.

Kalo kamu pernah ketemu dengan orang baru yang perilakunya ceroboh banget, tunggu, jangan langsung nilai seperti itu, dia punya potensi kemanusiaan yang perlu dihargai. Mungkin kita yang kurang pinter menggali potensi untuk nutupin kecerobohannya dia.

Kalo kamu diketemukan lagi dengan orang dari masa lalu yang dulunya egois naujubila, tunggu, jangan bilang bertahun kemudian dia masih kayak gitu. Dia belajar, dia mengalami, dia memanfaatkan potensi kemanusiaan yang dia punya, siapa tau sekarang jadi egois aja, nggak egois banget. Oke? Kekurangan (diri sendiri atau orang lain) itu hadir nggak selalu untuk dihilangkan, tapi semoga kita bisa menutupinya dengan potensi kemanusiaan yang kita punya.

Yang saya tuliskan di sini sebenarnya tak lain dan tak bukan adalah kekhawatiran saya sendiri. Khawatir nggak ketemu rekan kerja yang bisa menerima kecerobohan saya. Khawatir nggak ketemu kawan yang bisa mentolerir keegoisan saya. Khawatir nggak ketemu partner hidup yang kalo saya marah, dia gak ikutan marah, tapi peluk aja. Hehe.

Hari hampir hujan
18 - Nov - 2018
10.32 AM

Sabtu, 01 September 2018

Persepsi

Bagi saya dan teman-teman yang mempelajari ilmu Psikologi, bahasan tentang persepsi merupakan tema dasar yang sudah ditemui sejak awal. Kalau boleh saya bilang, mungkin tema tersebut merupakan salah satu faktor yang membuat kami “sebegitu” mewajarkannya berbagai gagasan dari orang lain. Sekalipun misalnya gagasan tersebut sangat bertentangan dengan apa yang kami pikirkan dan yang kami yakini.

Persepsi membuat seseorang bisa memaknai sesuatu dengan cara yang sangat bervariasi. Tergantung bagaimana panca inderanya menangkap stimulus, tergantung bagaimana memorinya me-recall informasi yang dimiliki, dan tergantung bagaimana ia akan mengungkapkan, verbal atau nonverbal kah, sesuai atau tidak sesuai kah, dll. Persepsi ini mempengaruhi perilaku. Orang yang mempersepsikan suara keras sebagai hal yang tidak menyenangkan, bisa diperkirakan ia tidak akan mendatangi konser musik rock. Orang yang menyukai tantangan cenderung akan memilih media hiburan yang dapat meningkatkan adrenalin, misalnya mengerjakan tugas seabrek dalam waktu 2 jam sebelum deadline. Stimulusnya sama, responnya beda (ini beneran udah kayak belajar Psikum ya, guys.). Penyebabnya banyak, dan semua penyebab itu ada dalam diri kita. Tinggal dikuliti satu per satu.

Perbedaan seseorang dalam mempersepsikan sebuah kejadian itu bisa mengantarkan pada sebuah masalah. Oh sorry, bukan masalah, tapi di-na-mi-ka. Sebagian orang tua mempunyai persepsi bahwa anak yang normal adalah yang mudah berteman dan berani tampil. Lalu bagaimana dengan yang pemalu dan butuh waktu untuk adaptasi dengan lingkungan baru? Bisa dibilang tidak normal, mungkin orang tua akan sangat khawatir dan berpikir bahwa ada hal yang tidak beres dengan sang anak. Kemampuan adaptasi manusia itu berbeda-beda. Tidak bergabung dengan  gerombolan anak yang sedang bermain tidak lantas menjadikan anak tersebut sebagai anak yang tidak mau berteman. Mungkin butuh pendampingan barang 5 menit, mungkin butuh yakin dulu bahwa lingkungan baru ini "aman" baginya. Nggak salah kok selama perilakunya belum sampai mengganggu aspek perkembangan yang lain. Yang ramah ya normal, yang pemalu juga normal.

Ada lagi sebagian orang tua yang menganggap bahwa anak yang minatnya di jurusan Sains akan lebih sukses dibanding dengan anak yang minatnya di jurusan Sosial. Orang tua berusaha keras sampai terkadang memaksa agar si anak bisa diterima di jurusan Sains yang mungkin saja anak tersebut tidak menaruh minat sama sekali dengan Biologi dan teman-temannya. Bisa jadi ia sangat tertarik dengan inflasi atau kronologi Perang Padri. Kalau mau jadi dokter, jelas harus minat di Sains. Waktu masih kecil, hampir semua anak bercita-cita ingin jadi dokter. Tapi sungguh, kita semua ini, yang dulunya juga anak-anak, akan berprofesi sebagai selain dokter pada waktunya.

Kenapa saya bicarakan persepsi orang tua terhadap anak? Karena saya menemui beberapa kasus dimana orang tua terkungkung sendiri di dalam persepsi yang mereka bebankan kepada anak. "Halah, emang situ udah tau rasanya jadi orang tua dengan anak yang demikian?" Misalnya ada yang nyeletuk gitu. Emang, saya belum tau bagaimana rasanya jadi orang tua (nikah aja belum, Sisters) dengan anak yang berminat menggeluti bidang otomotif, padahal misalnya, saya sangat ingin anak saya mahir bermain alat musik. Tapi, semoga saya tetap bangga. Saya belum tau bagaimana stresnya apabila anak saya ingin masuk ke jurusan Ilmu Sosial sementara misalnya kakak kandungnya bisa sukses di ranah Sains. Semoga saya tetap dukung dia dan memberi pengertian bahwa sukses itu indikatornya beragam dan tidak menjadikan orang lain sebagai patokan.

Yang salah itu bukan persepsinya, melainkan karena kurangnya pengetahuan sehingga akan mengantarkan kita pada labelling yang tidak pada tempatnya. 

Bila ada yang tersinggung dengan tulisan ini, mohon maaf, saya bukan ingin menyinggung. Kalau ingin menyinggung, saya justru akan senyum...

Itu menyungging, Fa, please.... Menyunggingkan senyum.

Oh iya. 

Saya bikin tulisan ini sebagai titik balik saya kembali ke blogger. Saya bilang sama diri sendiri, "Nulis lah yang serius. Biar beberapa tahun lagi, kalo baca tulisan sendiri, ya ada ilmunya meskipun dikit". Baik. Saya laksanakan.

Jumat, 23 Oktober 2015

Pensil Alis

Aku ingin menjelma menjadi pensil alis
Milikmu
Duduk manis dalam tas kerjamu
Bersebelahan dengan parfum, flashdisk juga dompet
Tak ada yang aku inginkan selain menemani kau pergi

Sejenak ketika kau goreskan aku di dahimu
Aku ingin meresap ke dalam kulitmu
Menelusur lebih jauh ke dalam pikiranmu

Pukul dua belas siang lewat sepuluh menit
Aku tak ingin hilang bersamaan air wudhumu
Biar saja aku gelantungan di ujung rambut alismu
Menjuntai berantakan
Bermaksud kau goreskan aku lagi

Sejenak ketika kau goreskan lagi aku di dahimu
Aku ingin semakin meresap ke dalam kulitmu
Menelusur lagi lebih jauh lagi ke dalam pikiranmu

Adakah aku yang nyata di sana
Bukan aku yang pensil alis
Adakah aku yang nyata pernah mengindahkan memorimu
Bukan aku yang mengindahkan barisan alis di dahimu

23/10/2015
21.28

Jumat, 25 September 2015

Ada

Ada yang dipaksa saat aku menulis ini. Baik itu jemari maupun kemampuan menyusun kalimat demi kalimat dan tanda baca yang tepat. Apabila aku salah menempatkan koma atau tanda tanya atau lupa menempatkan tanda titik bahkanspasi, maafkan saja ya. Tak ada yang lebih menyebalkan ketika inginmu adalah beristirahat tapi kamu tak mampu, atau inginmu muntah kata tapi tak keluar juga.

Ada yang ditahan saat aku menulis ini. Marah yang bersebab, tapi sudah hilang lagi sebelum kamu sempat sadari. Ini namanya marah sendiri. Maka jangan pernah kamu sepelekan perempuan yang tiba-tiba diam padahal sebelumnya dia bertingkah bak tukang obat yang menawarkan penyembuh-penyembuh bagi sedihmu atau penguat-penguat bagi senangmu.

Ada yang berisik di kepalaku. Berbincang tentang kamu. Melulu.

16.51
25 Sept 2015

Sabtu, 08 Agustus 2015

Rindu.

Banyak sekali barang di kamar itu. Yang bersih, yang penting, sampah, entahlah. Tak bisa aku pilih mana yang ingin kubawa pulang, mana yang ingin kubiarkan tinggal. Maka berpindahlah aku ke ruang tamu, untuk sekedar menghirup oksigen yang tak terlalu banyak menyimpan debu.

Waktu berjalan saja tanpa pernah menunggu. Ternyata aku habiskan waktu hampir tiga jam hanya untuk berdiam di ruang tamu. Aku mengutuk diri sendiri, katamu, kau ingin pulang! Baiklah, aku beranjak dan kembali masuk kamar, tak ada yang berubah. Masih saja berantakan, masih saja entahlah. Akhirnya kuputuskan untuk tidak membawa apa-apa. Kecuali dompet, handphone, dan barang kecil lainnya. Kugendong ranselku. Ingin pulang. Tapi aneh, kenapa ransel ini rasanya berat. Seperti ada banyak batu di dalamnya. Aku acuh saja. Karena bingung sendiri tidak memberimu uang satu juta.

Tak perlu aku deskripsikan dengan rinci bagaimana lalu lintas Jakarta menjelang senja. Yang kudengar hanya suara klakson bikin pekak telinga dan suara manusia yang terlahir tanpa kesabaran, terus-menerus berteriak, menyumpahserapahi lalu lintas. Kalian norak atau bagaimana sih.

Sampai di rumah hampir pukul delapan malam. Tas ini sungguh membuat punggungku sial. Penasaran, ingin ku lihat apa isinya. Mana tahu sungguhan dapat uang satu juta.

Aku kaget. Ingin memekik, tapi kurasa itu tak perlu. Akhirnya hanya kaget. Dengan mata terbelalak sedikit. Bukan hanya dompet dan handphone yang ada di dalam tas ini, tapi rindu memenuhi seluruh rongga tas ku. Bahkan sampai pada kantong yang terkecil. Sungguh sial lagi. Ternyata yang lucu bukanlah Sule atau Aziz Gagap, melainkan rindu. Berani sekali mereka menyelinap ke dalam tas dan menyamankan diri di setiap sisi. Sial sial lagi, aku tak pandai menyampaikan emosi dan hanya bisa tersenyum. Aku digelitik rindu.

Kau tahu, aku bukan orang yang rajin menulis diari, bahkan catatan kuliahku tak lebih dari sekedar sub judul yang kukutip dari slide presentasi. Ya, hanya sub judul saja. Tapi rindu adalah tangan-tangan yang tak mampu menulisi buku diari dengan cantik sebelum tahu seberapa baik kabarmu hari ini. Maka sekarang kau paham, mengapa aku belum juga rajin menulis diari. Karena rindu ini pun belum selesai dibagi.

Maka kau berhutang padaku, atau aku berhutang padamu, atau siapa berhutang pada siapa, untuk bisa selesaikan rindu ini.

08/08/2015
14.49

Minggu, 15 Februari 2015

Dari Ulfa, Oleh Ulfa, Untuk Ulfa

Musuhmu yang paling nyata bukanlah orang yang membicarakan aibmu. Melainkan rasa malas yang tinggal dalam dirimu.

Halo, Fa. Lumayan lama nggak nulis surat yah. Nggak, aku nggak mau dengar alasan kamu, karena sesungguhnya aku udah tahu. Kalo kamu bilang kamu terlalu sibuk dengan liburan kamu kemarin, lemme say this, you're wrong. Seharusnya di sana bisa lebih banyak inspirasi kamu yang keluar karena kamu ketemu sama orang-orang baru. Kamu bisa tulis surat untuk ibu pedagang nasi liwet, mbak-mbak sate lontong atau bapak-bapak penjual karak. Atau bahkan kamu tulis surat untuk Ammar, yang entah kenapa sekarang jadi pendiem banget.

Aku tau sih, setiap momen liburan itu patut untuk dinikmati, diambil fotonya, dan direkam memorinya. Kita, Fa, seharusnya bisa memaksimalkan momen-momen itu ke dalam tulisan. Aku akui, aku juga berperan dalam sisi kemalasan kamu. Hell yeah, kita nggak mungkin berpisah, Fa. Bahkan untuk sepersekian detik.

Fa, aku minta maaf. Ternyata aku belum cukup kuat untuk menegakkan hasrat menulismu. Atau hasrat-hasrat positif yang lain. Seperti solat di awal waktu, atau membantu Ibu tanpa disuruh terlebih dulu. Aku minta maaf. Ternyata aku belum cukup membantumu menjadi orang superior yang rendah hati. Aku (dan /  atau juga kamu) belum cukup berani untuk berkata lantang pada dunia. Aku minta maaf. Untuk waktumu yang terbuang sia-sia karena kebanyakan tidur atau bermain handphone berlama-lama. Aku bersumpah, aku minta maaf, Fa.

Fa, ala bisa karena biasa. Mari kita saling mengingatkan. Ini semua, dari Ulfa, oleh Ulfa, untuk Ulfa.

Salam cinta yang sedalam-dalamnya cinta,
Dirimu, Ulfa.


#30HariMenulisSuratCinta #2015 #HariKeTujuhBelas

Senin, 02 Februari 2015

Kepada Alfa

Kepada Alfa Yang-Belum-Aku-Pikirkan-Nama-Lengkapnya
((seandainya kamu ada))
di tempat

Hai Alfa, kembaranku.
Gila rasanya ketika aku mulai menuliskan surat ini. Tiba-tiba kamu muncul saat aku sedang mandi. Ini rahasia ya. Aku umur 20 tahun tapi aku sukanya pakai shampo anak bayi. Yang wangi melon. Kalau kamu beneran ada, kamu adalah kawan berbagi shampo itu. Dan pastinya kawan berbagi-kawan berbagi yang lain juga.

Fa, belum ada yang tahu seperti apa wujud fisikmu. Bahkan aku pun. Baiklah, kita akan mempermudah semua ini. Kamu beruntung karena ada belah di dagumu, tapi tunggu, dua lesung pipit ini tetap punyaku. Kamu lebih tinggi dua senti dariku, tapi soal berkendara, aku ada di depanmu. Fa, jika kamar pun kita berbagi, akan ada dua rak buku besar terpisah. Punyaku dan punyamu. Kamu bisa lihat sendiri, novel cupu akan memenuhi separuh dari rak milikku. Dan rak milikmu, Fa, terpenuhi buku-buku filsafat yang sarat dengan ilmu. Aku cinta selera bacaanmu.

Fa, bayangkan jika kamu beneran ada. Siapa yang paling disayang Ibu? Siapa yang paling sering dibeliin roti sama Ayah? Siapa yang paling sering cuci piring dan siapa yang paling rajin beresin tempat tidur? Biarlah, Fa. Kita adalah paling yang paling paling bagi diri kita masing-masing.

Fa, kalau kamu beneran ada, aku ingin kamu jadi orang yang nggak cepat bosan. Karena... aku suka banget cerita yang itu-itu aja. Cerita yang bikin aku sesak di kepala, apalagi di hati. Atau cerita tentang aku yang prokrastinasi mulu. Bilangnya mau tobat. Tapi belum belum juga. Dan aku janji, aku nggak akan cepat bosan dengerin kamu ngomong. Tentang apapun.

Fa, nama kamu ini sama kayak tokoh utama di Gelombang-nya Dewi Lestari. Dia, nama lengkapnya Thomas Alfa Edison. Tapi semenjak pergi ke Amerika, dia menyingkat namanya hanya dengan Alfa Sagala, yang kamu pasti tahu, Sagala adalah nama marga. Aku belum memikirkan nama lengkapmu seperti apa. Kalau mau dipersiskan dengan punyaku, karena mentang-mentang kita anak kembar, jadinya nggak seru. Sumpah. Makanya, seiring berjalannya waktu, semoga aku bisa segera menemukan nama yang cocok untuk bersanding dengan "Alfa". Yang jelas bukan Alfamart. Tenang aja.

Fa, tolong, Fa, tetap tinggal di ruang imajinasiku. Selain Ibu, aku juga butuh kamu untuk menuliskan sesuatu. Janji ya, Fa?

Sekian.

Salam,
Ulfa kembarannya Alfa.

#30HariMenulisSuratCinta #2015 #SuratHariKeEmpat

Minggu, 01 Februari 2015

Mentari

Kepada Mentari,
yang menyinari hati lelaki.

Nggak nyangka ((belom apa-apa udah nggak nyangka)). Kita 20 tahun loh sekarang! Main bareng, sekolah bareng. Dari mulai main petak umpet, congklak, taplak gunung, benteng sampe main hati, rasa-rasanya udah ngerasain bareng ya. Sekarang, elo kuliah di Gizi, gue di Psikologi. Rencananya lo akan lulus duluan karena ambil strata D3. Gue, semoga satu setengah tahun ke depan ini menjadi masa-masa perjuangan yang paling berharga untuk dapet gelar sarjana.

Surat ini beneran gue tulis beberapa saat setelah kita sama temen-temen yang lain ngobrol di chat BBM. Gue akui, untuk hari ketiga di event #30HariMenulisSuratCinta ini gue belom nemu seseorang (atau sesuatu) untuk ditulisi surat. Tapi ternyata lo hadir untuk mengisi kekosongan itu. Dan... voila! This letter is going to you, man :)

Tidak kurang dari dua jam lagi sejak surat ini ditulis, kereta lo berangkat. Ke Malang. Untuk dua bulan, demi memenuhi syarat tugas akhir. Mungkin sebagian dari kita nggak akan terlalu ngeh perihal kepergian, sebelum ada yang pamit dengan sopan. You did it. Invited us on a chatboard just to see you say goodbye. For awhile. Dulu, pas masih SD, kita main sama semuanya. Tapi semakin beranjak dewasa, tinggal kita sisa dua. Yang dulu main bareng, sekarang pada nggak tau kemana, malah lama-lama makin jauh. Justru yang dulunya nggak kenal, sekarang yang ngajak main bareng. Betapa waktu memang bisa mengubah perkawanan tanpa kita minta.

Yang baik ya di Malang. Nggak usah galau terus. Rasanya cepet banget tau-tau lo udah harus magang ke sana. Dua bulan pula! Gue paling banter ninggalin lo cuma dua minggu waktu ke Pare :") Emang sih nggak setiap hari kita ketemu. Karena kita nggak butuh pertemuan yang setiap hari. Yang kita butuh adalah keberadaan yang benar-benar ada. Gue tau lo ada, lo tau gue ada. Sekarang, rasanya beda. Gue di rumah, lo di Malang. Jauh. Haha. Ha ha :( Siapa yang nemenin gue ke Roti Bakar kalo di sini cuma ada Izhar, Apip, Dimas, Cahya, Didit? :( Siapa yang nemenin gue nongkrong di mesjid? :(

Yang baik ya di Malang. Kalo lo kesulitan tentang konseling, jangan sungkan tanya ke Izhar. Atau kalo memang butuh banget, nanti gue kirimin materi mata kuliah Interview gue. Mana tau bisa bantu lo lebih luwes ngadepin pasien. He he he.

Yang baik ya di Malang. Nggak usah takut kesaing sama dokter. Mending lo berdampingan sama dokter yang udah sepuh aja. Bisa disalimin. Dijamin nggak akan neko-neko dan nggak berani nyepelin perempuan kayak lo.

Yang kuat ya. Lo gak punya bendera putih untuk menyerah :)

Salam,
Ulfa yang takut akan perpisahan.

31 Januari 2015
1.53 AM

#30HariMenulisSuratCinta #2015 #SuratHariKetiga

Jumat, 30 Januari 2015

Shepia

Kepada Shepia,
Si Kekasih Gelap

Hei Shepia. Aku tak tau harus memanggilmu dengan sebutan apa. Kakak atau adik atau tante. Tapi... tunggu. Biar aku selesaikan surat ini saja.

She, boleh kan aku menyingkat namamu menjadi She? Biar akrab aja gitu... Ah She, kisahmu unik. Tak ku dengar dari buku dongeng atau kabar burung, melainkan lagu. Jadi She, di antara cowok-cowok itu, yang mana kekasih gelapmu? Yang mana pula kekasih terangmu? Saat aku menulis ini, usiaku tak lebih dari 10 tahun. Belum paham makna kekasih, baik yang terang maupun yang gelap. Yang ku tau, kekasih ya kekasih. Kata kasih yang mendapat imbuhan ke- di depannya. Kau tau, She, nilaiku 90 untuk bahasa Indonesia. He he he.

She, rumahmu di mana? Aku ingin naik sepeda ke rumahmu. Di sini banyak tempat indah untuk didatangi. Terlebih dengan sepeda. Kalau kamu tak ada sepeda, aku rela memboncengmu. Aku kuat. Serius, She. A-ku ku-at. Aku bersedia mengajakmu berkeliling. Sampai bosan. Sampai bodoh. Mana tahu, kita bisa jadi sahabat sejati.

She, sungguh aku tak benar-benar mengerti apa maksud ceritamu dari lagu itu. Suatu hari pernah kutanya pada Ibu, "Bu, Shepia ini nama lengkapnya siapa ya?". Dan jawaban Ibu adalah "Kerjakan PR atau radionya Ibu pindahin ke kamar Ibu?". Aku kaget, ternyata pengetahuan Ibu tentang aku lebih luas dari samudra dan segala isinya. Kamu tau, She, setelah sepeda, radio adalah benda favoritku. Kalau tidak ada radio, aku tak akan mengenalmu. Karena lewat radio lah aku mendengar tentangmu, yang dinyanyikan oleh cowok bersuara merdu. Ultimatum Ibu cukup membuatku mengkerut. Kumatikan radio, kukerjakan PR. Terkadang, hidup memang semudah menjalankan perintah Ibu.

She, kamu pernah dengar tentang Cinderella? Yang hidupnya berubah menjadi ajaib setelah mendapatkan sepatu kaca. Atau.. hm... Malin Kundang? Yang dikutuk menjadi batu karena durhaka pada Ibunya. She, kamu tak ubahnya seperti mereka! Kamu hebat! Kamu idola! Dalam kepalaku, tumbuh tanda tanya sebesar pohon kelapa setelah mendengar kisahmu. Kekasih gelap, malam ini ku takkan datang, kisah kita takkan abadi. Dengar She, aku hafal kisahmu yang tertuang dalam lagu itu. Meskipun ya, aku harus mengakui berkali-kali, aku kurang memahaminya. Baiklah, She, umurku tak lebih dari 10 tahun dan aku tak mengerti kenapa kamu harus jadi kekasih gelap sementara lampu dijual bebas di mana-mana. Dan listrik, ada di mana-mana. Kenapa, She?

She, aku memang anak kecil. Tapi aku tau, kisahmu bukan tentang berbahagia. Demi kekasih gelap, aku turut bersedih. Semoga ratapan anak ingusan ini bisa menghiburmu. Kalau kamu berniat membalas surat ini, tolong cantumkan alamat rumahmu selengkap-lengkapnya. Janjiku memboncengimu berkeliling tak akan pernah aku lupa. Kau tau, untuk urusan janji, terkadang anak kecil bisa lebih diandalkan ketimbang orang dewasa.

Sekali lagi, demi kekasih gelap, aku ingin menghiburmu, She.

Salam,
aku yang lupa mencantumkan nama.


#30HariMenulisSuratCinta #2015 #SuratHariKedua