Sabtu, 06 Desember 2014

Tentang Orang-Orang yang Dipertemukan Karena Merasakan Hal yang Sama



Maimunah: “Rus, aku udah bilang ke si Joko itu, masih banyak ikan di laut. Kayaknya dia sayang banget sama Tini, tapi nggak tau perasaan Tini gimana.”

Rusmini: “Iya. Ya gimana. Untuk urusan hati,  nggak bisa maksain.”

Maimunah: “Sadar gak sih, seharusnya kita nggak kayak gini, sayang sama orang yang nggak sayang sama kita. Kita harus berhenti…. :(

Rusmini: “Hm… yang kita harus lakukan adalah berhenti nasihatin orang untuk move on sementara kita masih kejebak sama perasaan sendiri.”

Maimunah: “Iya, Rus… Aku bisa dengan mudah bilang kayak gitu ke Joko, tapi aku sendiri nggak bisa ngelakuinnya. Kita harus berhenti mengejar, Rus.”

Rusmini: “…….”

Maimunah: “Kita cuma perlu berhenti mengejar. Tapi untuk mencintai, tetep nggak bisa dipaksa untuk berhenti :)

Rusmini: “Ah… :)



Percakapan seperti di atas, bagi gue, agak jenaka. Tentang bagaimana orang-orang yang merasakan hal yang sama, saling dipertemukan. Mereka yang suka mobil antik, pada akhirnya akan berkumpul dengan mereka yang juga suka mobil antik. Mereka yang kesulitan isi KRS pada akhirnya akan saling dipertemukan di ruang dosen pembimbing akademik. Mereka yang sayang sama orang yang tidak menyayangi mereka pun pada akhirnya dipertemukan, dan ujung-ujungnya akan saling curhat. Entah saat makan siang, kuliah atau diskusi sambil santai tapi banyakan santainya.


Ada yang bilang, kebetulan itu sebenernya nggak ada. Yang ada ya takdir. Bagaimana cara mencapainya, karena sama-sama suka mobil antik atau sama-sama sayang ke orang yang nggak sayang sama dia, tetep disebut takdir. Bukan kebetulan. Biasanya juga, mereka yang merasakan hal yang sama akan punya ikatan tersendiri. Contohnya, cewek-cewek baru saling kenal di kuliahan, sama-sama maba. Udah kuliah dua bulan, mulai terjalin obrolan-obrolan yang makin mendalam.


A: “Eh, lo kenal gak sama si Z?”

B: “Oh iya, kenal. Pas ospek, gue sekelompok sama dia. Kenapa emang?”

A: “Kok dia orangnya begini ya? Masa waktu bla bla bla, gue nyenggol bla bla bla-nya dia, eh dia malah bla bla bla banget. Gila. Padahal gue bla bla bla”

B: “Serius???????? Lo sebel sama dia??? Iiiiiiihhh gue juga kaliiiiiiiiiiii. Pas pertama ngobrol, dia bla bla bla asik gitu. Tapi kok lama-lama bla bla bla malesin ya. Dia ngomong terus bla bla bla. Kuping gue bla bla bla”

A: “Iya kaaaaaaan?? Bla bla bla”

((sampai dua hari kemudian belum selesai juga percakapan ini))


Mereka bertemu, mereka klop, mereka click, karena membenci seseorang yang sama. Kalo takdir mempertemukan mereka yang sama-sama bahagia, it’s okay, it’s love. Lantas, gimana dengan Maimunah, Rusmini dan Joko, yang sama-sama sayang ke orang yang nggak sayang sama mereka? Mereka bisa saling menasihati, tapi nggak bisa menjalankan nasihat itu.


Gue jadi mulai mikir, hidup ini memang seneng banget bercanda. Di saat tiba-tiba perasaan itu datang –entah mulai kapan, entah dari mana-, di saat lo sering ngalamin the-duduk-sebelahan-sama-dia-aja-udah-seneng-moment, di saat lo mencoba membahagiakan dia, saat itu pula ternyata dia sedang mencoba membahagiakan yang lain juga. Lucu. Iya. Terlebih hidup yang lucu itu nggak bisa lepas dari sesuatu yang namanya cinta.


Gue inget buku kumpulan puisinya Tere Liye yang berjudul Dikatakan atau Tidak Dikatakan, Itu Tetap Cinta. Isinya jenaka, ringan, bikin senyum-senyum terus angguk-angguk. ”Perasaan adalah perasaan. Cinta adalah cinta. Meski tidak kita bilang, tetap saja cinta. Bahkan kalaupun cinta itu ditolak, dihina, dibanting, dia sungguh tetap cinta. Paling disebut dengan cinta tak sampai, cinta terpendam.” Itu yang dibilang sama Tere Liye di salah satu puisinya. Terus gue mikir, mikir, mikir. Kok Tere Liye bener sih. Rasanya mau salim sama beliau. Salam takzim!

Kutipan di atas berasal dari Instagram-nya Bernard Batubara (@benzbara_), seorang penulis muda yang lagi melejit banget namanya. Desember ini, Bang Bara mau ngeluarin buku baru lagi yang berjudul Jatuh Cinta adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri. Baca judulnya aja nadi gue udah tersayat dikit :(

Postingan ini intinya apa? Nggak ada. Eh ada deng. Eh terserah sih sama para pembaca ini ((iya kalo ada yang baca selain gue)). Intinya ya.... gue nggak tau :( maafin gue :(


PS: we all aren't a diver, but lover. Keep calm because we're in the same line.
~nowplaying Heal The World - Michael Jackson 

Senin, 24 November 2014

Pohon Aneh

Minggu kedua musim kemarau. Ada yang aneh di halaman rumah. Pohon randu berguguran daunnya seperti biasa. Tapi terlihat satu pohon yang tiba-tiba ada. Pohon pengkhianat. Daunnya berguguran tak tertahankan. Amat sangat nyata. Pagi ini, aku menyaksikan pengkhianat yang nyata bertebaran dimana-mana. Tuhan, siapa yang sanggup menyapukan ini semua?


24112014
08.00

Senin, 27 Oktober 2014

Seorang Anak yang Ingin Memimpin Negara



Pagi ini aku tak sengaja membaca koran yang biasa diantar oleh Sukardi
Amat berbeda, halaman depannya dipenuhi satu gambar anak kecil berpakaian Superman
Aku baca dan mulutku menganga
Secepat kilat berteriak pada ibu, pada ayah, pada tetangga sebelah
Anak ini ingin memimpin negara! Ceritaku, singkat
Mereka melihat dan mulut mereka menganga lebih lebar
Tak ingin lama-lama, segera kubaca berita tersebut
Seorang anak usia empat tahun ingin memimpin
negara yang ia bangun di kolong kasurnya
Ditemani botol susu, mobil-mobilan dan kaus kaki biru
sebagai menteri-menterinya, ia berharap rakyat yang 
berupa debu bisa hidup sejahtera tanpa belenggu
Ia pandai berorasi meskipun baru mengenal angka satu
Dengan selimut bergambar lembu, ia mampu
mewujudkan kesejahteraan bagi para debu
Selesai
Mulutku menganga, lebih lama
Lantas berdoa pada Tuhan agar orang dewasa seperti aku,
ibuku, ayahku dan tetangga sebelahku dapat sejenak menyederhanakan harapan
Seperti anak kecil dalam berita
Betapa kehangatan ternyata bisa memimpin negara

27102014

Sabtu, 30 Agustus 2014

Kau Ini, Tapi Aku Itu

Kau nyala api di perapian
Tapi bukan aku yang kau hangatkan

Kau bunyi alarm di pagi hari
Tapi bukan aku yang kau bangunkan

Kau pembatas buku cerita penuh makna
Tapi bukan aku yang membacanya

Kau ritme indah dari mulut gitar
Tapi sial, aku tak mahir memainkannya

Kau langit hitam dengan bulan yang menggoda saat tengah malam
Tapi aku selalu tidur lebih cepat

Kau sebatang rokok yang kian hari kian menghitamkan paru-paru
Tapi bukan aku yang mematikan apinya

Kau mencintai dirimu sendiri
Tapi aku juga

30 Agustus 2014

Kamis, 10 Juli 2014

Berbincang dengan Tuhan (2)

Tuhan, kali ini tentang Palestina. Negeri yang melahirkan para syahid dan syahidah.

Ini semua pasti menjadi rahasia-Mu. Mengapa ada Israel yang tidak berperikemanusiaan dan mengapa ada Palestina yang senantiasa saling memperjuangkan saudara-saudaranya. Aku heran, tak lelahkah mereka, para tentara suruhan itu, melakukan penyerangan terus-menerus ke Palestina? Di mana berdirinya Masjid Al-Aqsha yang menjadi kebanggaan kita (seharusnya). Di mana anak kecil-anak kecil diajarkan oleh orang tua mereka untuk mengabadikan Al-Qur'an dengan hati dan pikiran.

Tuhan, terimakasih atas kesadaran ini. Bahwa sedihku tidaklah ada satu per sejutanya dibanding penderitaan orang-orang di Palestina.

Tuhan, jika perjuangan Palestina memang belum saatnya berakhir, setidaknya kuatkan mereka dengan hati yang condong pada-Mu.

Berbincang dengan Tuhan (1)

Tak pantas rasanya ketika aku menyapa-Mu dengan apa kabar karena Engkau adalah Yang Maha Sebaik-Baiknya Keadaan. Tuhan, sejenak aku ingin berbincang dengan-Mu. Betapa egois ketika barusan aku bilang sejenak. Padahal sejatinya manusia selalu butuh waktu untuk berbincang dengan Tuhannya, termasuk aku.

Tuhan, sudah hampir seminggu ini aku merasa kacau. Tak enak makan, tak enak tidur. Ini tidak seperti rumah yang biasanya. Ah Tuhan, apa yang sesungguhnya tidak baik di sini? Betapa masalah kecil memang bisa mengubah semuanya. Menjadi baik, atau bahkan buruk. Dan diam adalah satu-satunya jalan keluar yang bisa aku lakukan. Terkadang aku benci semua hal yang ada di luar diriku. Tidak, tidak. Bukan benci. Lebih tepatnya adalah aku tak tahu harus bersikap bagaimana terhadap mereka, terhadap semua hal yang berasal dari luar diriku. Alhasil, hari-hari berlalu untuk memecahkan teka-teki itu. Teka-teki yang aku buat sendiri. Yang sialnya jawabannya tidak ada di buku lelucon zaman SD-ku dulu.

Tuhan, Yang Maha Sebaik-Baiknya Keadaan, kali ini aku meminta (bahkan memaksa) untuk Engkau mengembalikan semuanya seperti semula. Baik baik saja. Tak tahan aku dibuatnya. Aku tak siap untuk penolakan-penolakan yang datang. Aku tak tahu kenapa aku sebut itu sebagai penolakan padahal sesungguhnya aku diterima-diterima saja di sini. Tapi apa dayaku, Tuhan, masa lalu saja sudah seharusnya dimaafkan. Apalagi aku? Kau setuju denganku kan, Tuhan?

Tuhan, Kau pasti lebih dari tahu bahwa aku ini makhluk yang bermain peran dengan perasaan. Aku wanita. Setidakpeduli apapun aku dengan orang lain, tapi perasaan ini sedikit banyak ikut mengambil alih. Mengambil bagian dari setiap tindakan. Kau juga pasti lebih dari tahu bahwa menangis dua jam tanpa henti akan berakibat fatal bagi wajah dan hati.

Tuhan, aku ingin marah. Tapi ini jadi rahasia kita saja. Tak perlu disebarluaskan di Social Media. Aku marah pada keadaan, Tuhan. Keadaan itu siapa? Keadaan itu apa?

Tuhan, Yang Maha Sebaik-Baiknya Keadaan, maafkan aku.

Sabtu, 05 Juli 2014

Sebuah Piring

Aku punya sebuah piring, Kawan. Piring yang sangat indah. Melebihi piring-piring yang dimiliki Ibu kalian. Bahkan piring-piring yang dijual oleh tukang perabotan keliling yang menggunakan mobil pick up. Piring itu istimewa. Hadiah dari seorang saudara jauh saat usiaku 13 tahun, hasil dari ia berlibur ke India selama 2 minggu. Pasti banyak yang menarik di sana sampai saudara jauhku itu rela mendatanginya untuk menghilangkan penat selama ia bekerja di kota.

Persetan dengan saudara jauhku. Aku tak ingin membicarakannya lebih lanjut. Kembali ke piring itu, piring yang aku jaga baik-baik. Tidak pernah aku gunakan sebagai alas makan, bahkan tempat untuk nyeruput kopi. Aku simpan rapi di kamarku. Tentu saja, kalian tak boleh tahu di mana letaknya. Bahkan orang tuaku sekalipun tidak tahu. Hanya aku, dan Tuhan.

Piring itu memang tak sempurna, tapi aku tegaskan sekali lagi, piring itu istimewa. Bagiku. Di atas piring itu, aku letakkan kepercayaan orang-orang, terlebih kepercayaan ayah ibuku. Kadang-kadang, piring itu aku bawa tidur bersamaku. Tak jarang aku bermimpi, piring itu menjadi sesuatu yang hidup. sesuatu yang bisa memenuhi kebutuhanku. Termasuk kebutuhan kepercayaan-kepercayaan yang aku letakkan di atasnya. Suatu ketika, di hari yang panas teriknya menyengat sampai ke darah daging, aku rebahan di lantai kamar, sambil menimang piring itu. Entah apa yang ada di pikiranku. Seandainya waktu bisa diulang kembali, aku tak akan mengambil piring itu dari tempatnya, terkecuali ketika kematian sudah sampai di pangkal lututku. Sebelum semuanya terjadi, aku melihat cicak di langit-langit kamarku. Jika dia terjatuh, maka akan mendarat dengan mulus di dahiku. Piring itu, aku letakkan di samping siku kananku. Sampai semesta menjawab semuanya. Aku terkaget-kaget karena (benar saja) tiba-tiba cicak itu jatuh tepat di dahiku. Berkecamuk perasaanku. Lantas aku terburu-buru bangun dan dengan tanpa sengaja piring itu tertekan oleh sikuku sampai retak. Sampai sakit pula siku ini. Sampai aku merasa seperti ada yang mengaliri sebagian tubuhku yang masih terduduk di lantai. Kalian tahu apa itu? Ya, benar. Kepercayaan orang-orang. Termasuk kepercayaan ayah ibuku. Tumpah berceceran di lantai. Tak hanya retak, piringnya terbelah menjadi tiga bagian yang hampir sama besar. Tak kuasa, ingin menangis rasanya. Ingin meronta-ronta (bahkan memaksa) pada Tuhan untuk bisa memutar waktu barang dua menit saja.

Memang, sesuatu yang rusak, meskipun diperbaiki, tidak akan bisa kembali seperti sedia kala. Termasuk piring itu, tempat di mana aku meletakkan kepercayaan orang-orang, terlebih kepercayaan ayah ibuku. Tapi tangisan bahkan penyesalan pun tidak mampu membuatnya rekat kembali. Setelahnya, aku mengambil piring yang lain dari dapur ibuku. Aku pinjam untuk meletakkan kepercayaan orang-orang yang masih bisa aku selamatkan. Termasuk kepercayaan ayah ibuku. Diriku sendiri, dan diri kita semua, seperti sebuah masa lalu. Tidak perlu disalahkan. Hanya perlu dimaafkan.

Jumat, 14 Maret 2014

Ungkapan yang Tak Pernah Selesai Dituliskan

Dengan ini, ingin aku sampaikan beberapa perkara yang telah kau selesaikan dan sedang kau kerjakan. Tentang semua kewajiban yang tak pernah kau hitung sebagai pengorbanan.

Ma, maaf,
-jika aku sudah banyak membuatmu khawatir bahkan sejak aku masih di dalam rahim
-jika di tengah tidur nyenyakmu aku terbangun, menangis lantaran haus dan minta susu
-jika belum ada satu kebaikan pun yang mampu membahagiakanmu barang setitik
-jika kemampuan bernalarku belum sampai pada tahap yang seharusnya
-jika ternyata aku lebih sering mendahulukan perasaanku tanpa pernah menjaga sedikit saja perasaanmu
-jika aku lebih memilih berada di luar rumah lebih lama ketimbang menemanimu menonton TV
-jika terkadang aku mempelajari sesuatu secara diam-diam tanpa menceritakannya padamu lebih dulu. Kau hanya perlu percaya bahwa aku melakukannya dengan baik-baik saja
-jika aku belum juga bisa akur dengan satu-satunya adik kandungku
-jika aku mendahulukan membeli buku daripada membelikan adik sepotong eskrim
-jika semua keputusan yang ada sekarang justru berkebalikan dari yang kau harapkan sejak dulu
-jika aku pernah berkata bahwa berkorban untukku adalah semata-mata tugasmu
-jika aku yang sekarang ternyata tak lebih lucu dari aku yang dulu
-jika pertanyaan pulang-jam-berapa darimu tak pernah berhasil aku jawab, tapi nyatanya kau tetap menunggu aku pulang kan? Meskipun sebenarnya dalam keadaan tidur
-jika ternyata aku belum bisa bertindak rapi dan telaten seperti dirimu
-jika aku pernah marah padamu. Tapi percayalah, tak ada sedikit pun keinginan untuk melukaimu dengan apapun
-jika aku sering mengabaikan pesan singkatmu. Lain kali, telepon saja :)

Ma, terimakasih,
-untuk sembilan bulan entah-berapa-hari tepatnya aku tinggal di rahimmu
-untuk semua asupan bergizi yang aku sedot melalui tali pusar selama aku di sana
-untuk seluruh sayang yang kau berikan tanpa mengenal waktu
-untuk hangat yang tak pernah bisa aku dapatkan dari selimut manapun
-untuk rumah yang pintunya selalu terbuka, sepagi apapun aku pulang dari urusanku di luar sana
-untuk keihkalasanmu mengalah ketika aku bersikeras dengan keputusanku sendiri
-untuk kepercayaanmu mengizinkanku pergi ke tempat yang jauh dari rumah
-untuk semua maafmu yang langsung terlontar ketika aku menemuimu dengan bermodal tangis
-untuk keluangan waktumu mendengarkanku bercerita tentang jatuh cinta dan sakit hati
-untuk kesediaanmu membangunkanku saat shubuh, sampai saat ini, ketika umurku hampir dua puluh
-untuk curi-curi waktu yang kau manfaatkan demi membaca blogku
-untuk kerelaanmu memenuhi keinginanku sampai perlu menguras tabunganmu
-untuk nasihat-nasihat tak kasat mata, tak kasat telinga yang sudah pasti terlewat olehku. Semoga nasihat yang terlewat itu masih bisa aku punguti satu per satu
-untuk mimpimu tentang diriku yang menjadi seorang akuntan. Mimpi yang harus kandas lantaran aku lebih memilih Psikologi sebagai studi lanjutanku. Semoga ini bisa mengobati kita bersama
-untuk menerima kebiasaanku yang tak sejalan dengan peraturan di rumah ini
-untuk doamu yang selalu menaungiku. Tak terbatas ruang dan waktu

Ma, seperti kangen, maaf dan terimakasih ini tak pernah selesai aku tuliskan. Tak pernah tuntas aku bicarakan padamu. Aku hanya takut jika aku menyelesaikannya saat ini dan semuanya menjadi tuntas, tak ada lagi yang bisa kita bicarakan sampai bola mata hampir lepas. Maka biarlah yang tak selesai dan tak tuntas itu tetap ada.

Ma, sayang ini nyata. Tanyakan saja pada Tuhan.


Tangerang, 14 Maret 2014, 23.50

Selasa, 04 Maret 2014

Bertanya pada Kawan

Kawan, kapan terakhir kali kita duduk bersama untuk merenungkan tentang apa saja? Ditemani berbagai cemilan dan minuman yang kita suka. Utamanya kau dengan keripik singkongmu dan aku dengan kopi tiramisuku.

Kawan, menurutmu, saat pagi menjelang, siapa yang lebih berhak mendapatkan udara segar gratis dari Tuhan? Para perokok di jalanan atau pasien di rumah sakit dengan tabung oksigen berbayar? Para kuli bangunan yang bekerja demi anak istri atau para mahasiswa yang berangkat lebih awal untuk posisi brilian saat ujian? Mari kita bicarakan, siapa tau bisa jadi orang yang lebih bijak di kemudian hari dan tidak pernah menganggap remeh permasalahan di pagi hari.

Sebelum kita lanjutkan, boleh aku minta sedikit keripik singkongmu? Cemilan lain seperti tak menarik seleraku. Nanti, kuberi kau dua teguk kopi ini. Ingat, tak lebih dari dua teguk!

Kawan, kau pernah sakit hati? Dengan keluargamu, mantan kekasihmu, atau bahkan barangkali aku pernah melukai hatimu tanpa aku sadari? Bagaimana rasanya? Pasti kau berikir bahwa kaulah korban sesungguhnya dari kejadian tersebut. Kaulah satu-satunya pihak yang tersakiti. Tak apa. Klasik. Kadang pun aku begitu. Tapi jika ingin dipikir-pikir, apa tujuan kita mendramakan hal itu? Agar dikasihani orang-orang? Ah kuno. Ternyata kita kuno dengan terus-menerus beranggapan bahwa yang-sakit-itu-aku-dan-bukan-kamu-dan-bukan-kalian. Kita sudah seharusnya berjanji untuk tidak melakukannya lagi. karena apa yang kita pikir sulit, apa yang kita rasa sakit, maka kenyataan akan datang begitu. Ada bagian diri kita yang harus “bergerak” dengan leluasa. Berikan hak mereka.

Keripik singkongmu semakin menipis. Dasar tukang makan! Mancung mana, hidung atau perutmu?

Kawan, menurutmu, siapa yang lebih berhak bahagia, kau atau ibumu? Kau yang mempunya ibu cantik nan lemah lembut dan rajin membangunkanmu saat subuh padahal usiamu sudah masuk kepala dua atau ibumu yang melahirkan anak lelaki berwajah tegas ditambah sedikit semburat lugu dengan rasa sayang yang tak diragukan? Apa kau bilang? Siapa yang lebih bahagia? Ayahmu? Karena memiliki kau dan ibumu? Dasar kau anak pandai. Ajari aku bagaimana menciptakan humor tanpa perlu mengobrak-abrik isi otakku.

Tidakkah kau bosan dengan pertemuan kali ini? Lagi-lagi kau dengan keripik singkongmu dan aku dengan kopi tiramisuku. Kalau aku, tidak. Terkadang seseorang butuh orang lain yang bisa menerima semua hal membosankan yang melekat pada dirinya. Tidakkah kau begitu? Tidak?! Dasar kau sombong! Kau tau? Keripik singkong itu yang bosan padamu. Percaya padaku!


Aku? Tentu tidak :)


Tangerang, 4 Maret 2014, 20:01

Minggu, 16 Februari 2014

Menulis itu Membahagiakan


Halo Icha yang entik di Bogor.
Berangkat dari screencapture di atas, aku mau jawab pertanyaanmu dengan lebih lengkap di sini. Aku seneng pas kamu tanya "Nulis itu bahagia ya?". Yang pertama mau aku bilang adalah nulis itu memang membahagiakan :') sama kayak pas kamu asik-asikan scroll Path di tablet-mu, liatin update-an orang-orang dan nge-play nowplaying mereka. Kalo kamu lagi nge-Path biasanya akan tiba-tiba kedengeran suara musik dengan jumlah volume ganjil (yang cuma kamu yang tau). Bahagia gak? Asik gak? Itulah menulis bagi aku. Nulis itu membahagiakan. Sama kayak pas kamu melantunkan semua lagu yang terdengar oleh telinga kamu. Melihat kebiasaan kamu yang itu, aku jadi yakin kayaknya kamu hafal semua lirik lagu di dunia ini. Iya, lebay sih. Yang penting bahagia, kan? Nulis itu membahagiakan. Sama kayak pas kamu nemu view yang indah untuk foto. Dimanapun tempatnya, kapanpun waktunya. It's totally your cup of tea. So, to write is my cup of tea :') Cha, kata orang, jika tulisanmu dirasa kurang greget, itu artinya kamu harus lebih "sakit" lagi. Tapi percayalah, kamu nggak harus "sakit" dulu untuk bisa nulis. Justru kebahagiaanlah yang seharusnya lebih sering dituliskan.

Icha yang entik, bersyukurlah ada darah seni -terutama musik- yang mengalir dalam dirimu. Kamu tau? Sesungguhnya aku mau banget ikut les gitar juga pas kita di Pare kemarin. Tapi aku pikir-pikir lagi bahwa tujuan utama aku ke Pare bukan untuk itu. Bukan untuk secara paksa melahirkan seni musik dalam diriku. Makanya, les gitar yang kemarin itu jangan cuma disia-siakan ya, Cha. Emang nggak capek minta tolong orang terus untuk ngiringin kamu nyanyi? :D

Cha, apa kabar hatimu? Sudahkah serpihan retakannya kembali utuh? Sudah adakah yang kembali mengisi dan melapangkan dadamu di setiap detiknya? Sudah atau belum, yang kamu butuhkan itu bersabar dan mencoba melihat dunia dengan kacamata yang lebih bijak lagi. Aku salut pas denger cerita kamu tentang usaha kamu untuk tetep berbuat baik ke dia yang udah jahatin kamu. Jahatin kamu banget. Bahkan banyak temen-temen juga -termasuk aku- yang sering mengolok-olok dia karena sikap dia yang nggak seharusnya. Tapi kamu bilang kamu cuma mau berbuat baik ke dia. Mungkin juga ke semua orang. Semoga akan semakin banyak orang yang merelakan dirinya untuk membahagiakan kamu, Cha. Tuhan pasti membalas setiap perbuatan manusia :)

Cha, kamu tau gak? Orang-orang di sekitar kamu itu butuh perhatian kamu. Mereka pengen kamu dengerin cerita mereka. Mereka pengen kamu kasih nasihat ke mereka. Jangan cuma tablet kamu doang yang diperhatiin terus. Sometimes, all you have to do is give your own time to build their own "world". Mereka juga pengen kamu hadir ke dalam dunia mereka.

Cha, aku inget kamu pengen banget beliin pulau pribadi untuk Mama kamu. Supaya apa? Supaya Mamamu bisa lebih sering istirahat kan? Katanya Mamamu sibuk banget. Makanya kamu pengen Mama sejenak melepas penat di pulau yang kamu beliin untuk beliau.Cha, katanya sih nggak ada sesuatu yang nggak mungkin. Apalagi cuma keinginan kamu yang itu. Pasti kebeli kok pulau yang kamu pengen kasih ke Mama.

Cha, makasih udah mau mampir ke blog aku sponsored by Espresso terpelit. Coba jelasin Espresso terpelit itu maksudnya apa? Aku penasaran Cha kenapa kamu sering bikin istilah-istilah aneh. Espresso terpelit, DBL banget ini mah, sesepedaan, dll. Tapi gapapa. Lucu. Bisa bikin orang-orang di sekitarmu ketawa terus ikut-ikutan pake istilah-istilah kamu deh. Haha.

Icha yang entik, aku sudahi suratku di sini. Jadi diri kamu sendiri ya. Tapi jangan lupain kewajiban kamu terhadap orang lain :)

Salam,
Aku yang inisial namanya cocok sekali disandingkan dengan "my everything"
Tangerang, 15 Februari 2014, 23:07
#30HariMenulisSuratCinta