Kamis, 10 Juli 2014

Berbincang dengan Tuhan (2)

Tuhan, kali ini tentang Palestina. Negeri yang melahirkan para syahid dan syahidah.

Ini semua pasti menjadi rahasia-Mu. Mengapa ada Israel yang tidak berperikemanusiaan dan mengapa ada Palestina yang senantiasa saling memperjuangkan saudara-saudaranya. Aku heran, tak lelahkah mereka, para tentara suruhan itu, melakukan penyerangan terus-menerus ke Palestina? Di mana berdirinya Masjid Al-Aqsha yang menjadi kebanggaan kita (seharusnya). Di mana anak kecil-anak kecil diajarkan oleh orang tua mereka untuk mengabadikan Al-Qur'an dengan hati dan pikiran.

Tuhan, terimakasih atas kesadaran ini. Bahwa sedihku tidaklah ada satu per sejutanya dibanding penderitaan orang-orang di Palestina.

Tuhan, jika perjuangan Palestina memang belum saatnya berakhir, setidaknya kuatkan mereka dengan hati yang condong pada-Mu.

Berbincang dengan Tuhan (1)

Tak pantas rasanya ketika aku menyapa-Mu dengan apa kabar karena Engkau adalah Yang Maha Sebaik-Baiknya Keadaan. Tuhan, sejenak aku ingin berbincang dengan-Mu. Betapa egois ketika barusan aku bilang sejenak. Padahal sejatinya manusia selalu butuh waktu untuk berbincang dengan Tuhannya, termasuk aku.

Tuhan, sudah hampir seminggu ini aku merasa kacau. Tak enak makan, tak enak tidur. Ini tidak seperti rumah yang biasanya. Ah Tuhan, apa yang sesungguhnya tidak baik di sini? Betapa masalah kecil memang bisa mengubah semuanya. Menjadi baik, atau bahkan buruk. Dan diam adalah satu-satunya jalan keluar yang bisa aku lakukan. Terkadang aku benci semua hal yang ada di luar diriku. Tidak, tidak. Bukan benci. Lebih tepatnya adalah aku tak tahu harus bersikap bagaimana terhadap mereka, terhadap semua hal yang berasal dari luar diriku. Alhasil, hari-hari berlalu untuk memecahkan teka-teki itu. Teka-teki yang aku buat sendiri. Yang sialnya jawabannya tidak ada di buku lelucon zaman SD-ku dulu.

Tuhan, Yang Maha Sebaik-Baiknya Keadaan, kali ini aku meminta (bahkan memaksa) untuk Engkau mengembalikan semuanya seperti semula. Baik baik saja. Tak tahan aku dibuatnya. Aku tak siap untuk penolakan-penolakan yang datang. Aku tak tahu kenapa aku sebut itu sebagai penolakan padahal sesungguhnya aku diterima-diterima saja di sini. Tapi apa dayaku, Tuhan, masa lalu saja sudah seharusnya dimaafkan. Apalagi aku? Kau setuju denganku kan, Tuhan?

Tuhan, Kau pasti lebih dari tahu bahwa aku ini makhluk yang bermain peran dengan perasaan. Aku wanita. Setidakpeduli apapun aku dengan orang lain, tapi perasaan ini sedikit banyak ikut mengambil alih. Mengambil bagian dari setiap tindakan. Kau juga pasti lebih dari tahu bahwa menangis dua jam tanpa henti akan berakibat fatal bagi wajah dan hati.

Tuhan, aku ingin marah. Tapi ini jadi rahasia kita saja. Tak perlu disebarluaskan di Social Media. Aku marah pada keadaan, Tuhan. Keadaan itu siapa? Keadaan itu apa?

Tuhan, Yang Maha Sebaik-Baiknya Keadaan, maafkan aku.

Sabtu, 05 Juli 2014

Sebuah Piring

Aku punya sebuah piring, Kawan. Piring yang sangat indah. Melebihi piring-piring yang dimiliki Ibu kalian. Bahkan piring-piring yang dijual oleh tukang perabotan keliling yang menggunakan mobil pick up. Piring itu istimewa. Hadiah dari seorang saudara jauh saat usiaku 13 tahun, hasil dari ia berlibur ke India selama 2 minggu. Pasti banyak yang menarik di sana sampai saudara jauhku itu rela mendatanginya untuk menghilangkan penat selama ia bekerja di kota.

Persetan dengan saudara jauhku. Aku tak ingin membicarakannya lebih lanjut. Kembali ke piring itu, piring yang aku jaga baik-baik. Tidak pernah aku gunakan sebagai alas makan, bahkan tempat untuk nyeruput kopi. Aku simpan rapi di kamarku. Tentu saja, kalian tak boleh tahu di mana letaknya. Bahkan orang tuaku sekalipun tidak tahu. Hanya aku, dan Tuhan.

Piring itu memang tak sempurna, tapi aku tegaskan sekali lagi, piring itu istimewa. Bagiku. Di atas piring itu, aku letakkan kepercayaan orang-orang, terlebih kepercayaan ayah ibuku. Kadang-kadang, piring itu aku bawa tidur bersamaku. Tak jarang aku bermimpi, piring itu menjadi sesuatu yang hidup. sesuatu yang bisa memenuhi kebutuhanku. Termasuk kebutuhan kepercayaan-kepercayaan yang aku letakkan di atasnya. Suatu ketika, di hari yang panas teriknya menyengat sampai ke darah daging, aku rebahan di lantai kamar, sambil menimang piring itu. Entah apa yang ada di pikiranku. Seandainya waktu bisa diulang kembali, aku tak akan mengambil piring itu dari tempatnya, terkecuali ketika kematian sudah sampai di pangkal lututku. Sebelum semuanya terjadi, aku melihat cicak di langit-langit kamarku. Jika dia terjatuh, maka akan mendarat dengan mulus di dahiku. Piring itu, aku letakkan di samping siku kananku. Sampai semesta menjawab semuanya. Aku terkaget-kaget karena (benar saja) tiba-tiba cicak itu jatuh tepat di dahiku. Berkecamuk perasaanku. Lantas aku terburu-buru bangun dan dengan tanpa sengaja piring itu tertekan oleh sikuku sampai retak. Sampai sakit pula siku ini. Sampai aku merasa seperti ada yang mengaliri sebagian tubuhku yang masih terduduk di lantai. Kalian tahu apa itu? Ya, benar. Kepercayaan orang-orang. Termasuk kepercayaan ayah ibuku. Tumpah berceceran di lantai. Tak hanya retak, piringnya terbelah menjadi tiga bagian yang hampir sama besar. Tak kuasa, ingin menangis rasanya. Ingin meronta-ronta (bahkan memaksa) pada Tuhan untuk bisa memutar waktu barang dua menit saja.

Memang, sesuatu yang rusak, meskipun diperbaiki, tidak akan bisa kembali seperti sedia kala. Termasuk piring itu, tempat di mana aku meletakkan kepercayaan orang-orang, terlebih kepercayaan ayah ibuku. Tapi tangisan bahkan penyesalan pun tidak mampu membuatnya rekat kembali. Setelahnya, aku mengambil piring yang lain dari dapur ibuku. Aku pinjam untuk meletakkan kepercayaan orang-orang yang masih bisa aku selamatkan. Termasuk kepercayaan ayah ibuku. Diriku sendiri, dan diri kita semua, seperti sebuah masa lalu. Tidak perlu disalahkan. Hanya perlu dimaafkan.