Minggu, 23 Oktober 2011

Pernah

Di bawah hujan seperti ini, kita pernah saling mencintai
Kau peluk aku
Betapapun dinginnya udara saat itu, kau mampu menghangatkanku
Aku tenang
Tak sedikitpun memungkiri bahwa cintaku pernah mendampingimu

Di saat yang sama, kau pernah mengatakan sesuatu
Yang mewakili segalanya
Segala yang kau pernah pedam selama ini
Aku menggigil
Bukan karna hujan, melainkan kata-kata sihirmu

Aku tak akan meninggalkanmu
Itu yang kau katakan
Maksudku, yang pernah kau katakan
Ketika nasib masih berpihak pada kita
Aku dan dirimu
Bukan dirimu dan dirinya

Saat ini
Pada hujan yang sama, kau tak lagi ada
Tak pernah lagi mencintaiku
Layaknya hujan mencintai tanah
Layaknya matahari mencintai pagi

Aku sadar kau bukan milikku lagi
Meskipun kita masih bernaung di bawah langit yang sama
Tapi hujan tak mampu menyembunyikan apa yang pernah ada

Sabtu, 15 Oktober 2011

Pergi ke Bulan

Sejak kecil, aku tak pernah bercita-cita menjadi astronot. Tak terpikir untuk menjamah luar angkasa. Toh aku kira bumi adalah tempat paling nyaman. Tempat cinta kasih bersemayam. Tempat orang-orang baik bersliweran.


Tapi lain halnya ketika aku mulai mengenal cinta. Dan sakit hati pastinya. Aku berpikir untuk memasukkan “astronot” dan “luar angkasa” ke dalam future list yang telah ku buat. Aku mulai tak kerasan di bumi. Banyak orang jahat. Dan kebencian dimana-mana.


Malam tadi, aku tengok bulan. Indah. Bersinar. Tapi tidak. Bulan tidak seutuhnya seperti itu. Sesungguhnya ia tak bersinar. Ia hanya memantulkan cahaya. Permukaannya pun tak rata. Ada sekian banyak asteroid atau meteor yang telah menabraknya.

Seandainya aku ini astronot, akan sesegera mungkin aku pergi ke bulan. Tak peduli berapa puluhribu kilometer jarak antara bulan dengan bumi, tak peduli di bulan ada udara atau tidak, aku hanya ingin menjauhi bumi. Mungkin alien disana lebih baik daripada manusia. Aku bisa berteman dengan mereka. Seperti halnya berteman dengan manusia di bumi. Bahasa? Mudah saja. Tinggal ikuti bagaimana mereka berkomunikasi dan aku akan mulai terbiasa.

Jangan tanya kapan aku kembali ke bumi. Mungkin jika di keadaan di bumi sudah membaik, aku baru akan kembali. Atau jika aku menikah dengan alien tampan, aku tak akan pernah kembali ke bumi.

Percayalah, terpaksa meninggalkan atau ditinggalkan siapapun karena jarak tak lebih sakit daripada karena kemauan kita atau mereka sendiri.

Rabu, 12 Oktober 2011

Rumah - Hati

Rumah
Hati
Siapa sangka kamu tinggal di dalam hatiku?
Entah mulai kapan aku mencetuskan seperti itu
Kamu percaya hatiku ini seperti cangkang kura-kura?
Jika cintamu membesar, pun hatiku mengimbanginya

Tak perlu kau tengok rumah tetanggamu
Cukuplah hatiku yang membesarkanmu
Kau butuh apa?
Pejamkan mata dan kau akan dapatkan segalanya
Kau butuh cinta?
Tengok diriku dan aku akan memberikannya

Aku percaya Tuhan merestui kamu tinggal di dalamku
Usahlah kau pedulikan omong kosong karib kawanmu
Mereka tak paham rindu
Tak paham bila akibat dari memendamnya adalah hati menjadi kelabu

Kemarilah
Tancapkan hatimu pada dinding hatiku
Gantungkan anganmu pada langit-langit kamarku
Kelak Tuhan menjawab semuanya dengan apapun kekuasaan itu

Sampai pada waktu dimana kau mulai tak kerasan dan tak terkendali
Jikapun kau hendak pergi, bawa semua serpihan cintamu yang tak guna lagi
Kau menemukan rumah yang lebih tinggi
Yang mampu menenggelamkanmu pada kolam rindu abadi
Yang tak terdapat pada hati diri ini

Pada akhirnya, rumahku tak ada yang menempati
Belum ada lagi hati yang berhasil menyinggahi

Senin, 10 Oktober 2011

Teman Hujan

Perkenalkan. Ini temanku. Namanya Hujan. Satu-satunya yang mempertemukan kami adalah Tuhan. Dia sangat sederhana. Melebihi kesederhanaan makanan di warteg pinggir jalan. Aku menyukainya. Sangat menyukainya.

Meskipun tak tentu kapan dia bertandang ke rumahku, aku selalu menunggunya. Ketika dia datang, tergesa aku berlari ke jendela kamar, dan kami bertemu disana. Kami berbincang banyak hal. Aku tertawa seiring derasnya air yang jatuh. Kalian tau? Temanku itu adalah perantara cinta kasih Tuhan kepada tanah, tumbuhan, hewan bahkan makhluk seperti diriku, manusia.

Dia seperti lantunan melodi mengharukan yang tak seorang pun bisa menirukannya. Dia mampu meniup amarahku entah kemana yang tak seorang pun mampu memadamkannya. Perhatikan saat dirinya pertama kali menyentuh tanah. Hmm aromanya menenangkan. Tak hanya diriku, seluruh partikel tanah bersuka cita menyambut dirinya.

Aku tak pandai bermain alat musik. Tapi bersamanya, seakan aku mampu memainkan semua instrumen yang ada. Dia menyamakan suara dengan melodi apapun yang aku ciptakan. Dia tak pernah protes sekalipun permainan musikku teramat sangat buruk.

Hal lain yang aku suka tentangnya adalah, saat dia datang, tak serta merta dia memunculkan kenangan yang tersimpan rapi di dalam memori otakku. Dia mampu memilah kenangan mana yang pantas di perbincangkan bersama.

Tak jarang dia mengajak serta temannya yang lain saat bertemu denganku. Ada Badai, Angin Topan dan Petir. Mereka beraneka ragam. Egois, tegar dan mendebarkan. Aku juga menyukai mereka. Mereka bergabung menjadi satu tim kompak yang merupakan anugrah dari Tuhan.

Ketika hendak pergi, dia selalu berjanji akan menghadirkan sesuatu yang tak kalah indah dari dirinya. Pelangi. Dia sebut sesuatu itu Pelangi. Kalian tau Pelangi itu apa? Siluet bermacam-macam warna yang melengkung dari barat ke timur atau utara ke selatan. Yang hadir bersama matahari.

Aku menyukai Hujanku yang tegar. Yang membanggakan kehebatan teman-temannya, mengakui keindahan pelangi dan tersenyum saat matahari bersinar lagi.

Minggu, 09 Oktober 2011

Hadiah Paling Disuka

Aku menyukainya
Menyukai lebih dari orang lain
Tak terhitung berapa kali aku menyebut tentang dirinya

Aku menantinya
Meskipun aku tau ia tak selalu ada di saat aku butuhkan
Aku yakin dirinya pun menunggu ibuku untuk membelinya

Setiap pekan aku merengek pada ibu
Aku mau dirinya
Hadiah yang aku sukai

Saat aku mendapatkannya
Tak sabar ingin aku tenggelamkan
Pada minyak goreng yang panas

Tak ada orang lain yang boleh menyentuh hadiahku
Tak boleh ada yang menemaninya selain aku
Sekalipun ibu

Saat aku tahu dia sudah mencapai kematangan
Aku amati baik-baik
Bentuknya sempurna

Aku dapat rasakan betapa panasnya minyak yang menempel di tubuhnya
Aku tiriskan dia
Aku tunjukkan kasih sayang padanya

Tepat tengah hari
Aku siapkan sepiring nasi dan ayam goreng
Serta hadiah yang sangat aku sukai
Kerupuk udang

Sabtu, 08 Oktober 2011

Jendela, Pohon dan Kanker

12.05
Aku bersiap menjemput Nina di sekolahnya. Tak jauh dari rumah. Cukup naik sepeda 10 menit dan aku akan sampai di sekolah dasar tempat Nina belajar. Nina duduk di kelas 4. Setelah menempuh perjalanan yang santai, akhirnya aku tiba. Aku menunggu di gerbang depan sekolah. Tempat biasa menjemput Nina.
Tak berapa lama, bel pulang berbunyi. Aku menerka-nerka dimana Nina. Dia terlalu kecil di antara anak SD seumurannya. Entah karena mengikuti jejak tubuh mungilku atau karena penyakit yang mengidap di tubuhnya. Nah itu dia! gumamku dalam hati. Aku melambai pada Nina yang sedang ngobrol dengan teman dekatnya yang aku tau bernama Ratna. Nina melihatku dan tersenyum. Segera mengucapkan salam perpisahan pada Ratna dan menghampiriku.
“Hai Nina. Bagaimana di sekolahmu hari ini?”
“Hai Bunda. Senang sekali! Nina dapat nilai 100 untuk matematika”
“Waw hebatnya! Ayo naik! Kita pergi ke tempat yang paling nyaman sedunia”
“Ayo Bunda! Hahaha”
Begitu setiap hari. Aku selalu melemparkan pertanyaan yang sama. Dan Nina selalu menjawabnya dengan bahagia. Apapun keadaannya. Entah ketika dia hanya mendapat C dalam kelas menggambar atau saat nilai 100 untuk matematika seperti saat ini.
Tempat paling nyaman sedunia yang aku maksud adalah rumah. Rumah yang meskipun mungil, tapi aku, suamiku dan Nina betah tinggal di dalamnya. Selain itu, di halaman samping rumah, kami menanam pohon yang cukup rindang. Dan pohon itu bertambah rindang seiring perjalanan umurnya. Daunnya sudah mencapai atap rumah kami. Pun batangnya kokoh.
Ketika tiba dirumah, langit mulai mendung. Pertanda akan turun hujan. Sekarang ini memang sudah musimnya. Beruntung aku selalu menjemput Nina di awal waktu. Jika tidak, kami pasti akan terjebak hujan.
Setiap pulang sekolah, Nina akan melihat keadaan pohon rindang di halaman samping. Suatu hari Nina pernah bilang bahwa ia menyukai pohon itu. Ketika aku tanya alasannya, dia menjawab dengan polos “soalnya pohon rindang selalu di samping Ayah-Bunda. Nina juga mau sama-sama terus bareng Ayah-Bunda” diam-diam aku menitikkan air mata.
Saat ini pun Nina sedang di halaman samping.
“Nina, ayo cepat masuk. Mendung tuh”
“Iya Bunda. Tengok pohon rindang dulu”
“Jangan lama-lama ya. Bunda tunggu di meja makan”
“Oke!”
Aku masuk ke dalam dan menyiapkan makan siang untuk Nina. Tak beberapa lama, Nina juga sudah di meja makan. Aku siapkan makanan kesukaannya, ayam goreng. Kami makan bersama. Berceloteh ringan tentang apapun.
Lima menit berlalu. Hujan akhirnya tiba. Cukup deras. Disertai angin yang lemah.
Setelah menghabiskan makanan di piringnya dan minum segelas air yang sudah aku siapkan, Nina langsung berlari ke jendela yang tertuju ke arah pohon rindang. Selalu jendela itu. Apapun yang terjadi, Nina akan melihat keadaan di luar rumah melalui jendela itu.
Pohon itu tampak gagah di mata Nina. Dia tak tumbang meskipun di terjang hujan dan angin.
Aku menghampirinya. Tiba-tiba dia berkata
“Bunda, Nina suka loh ngeliat keluar dari jendela ini
“Loh? Kenapa? Di rumah ini kan jendelanya nggak cuma satu. Tuh ada jendela yang di sebelah sana kataku seraya menunjuk jendela di dinding sebrang.
“Soalnya cuma dari jendela yang ini Nina bisa lihat pohon rindang. Nina juga mau jadi kayak pohon rindang”
“Kenapa? Nina akan tetap jadi Nina. Dan pohon rindang tetaplah sebuah pohon” entah Nina mengerti atau tidak perkataan ku barusan.
“Pohon rindang besar sekali, Bunda. Dia bisa ngelindungin rumah Ayah-Bunda. Ngelindungin Nina juga. Kalo Nina jadi pohon, Bunda boleh berteduh di bawah Nina” katanya polos. Dengan senyum yang amat berharga bagiku.
Aku tertawa kecil dan tersentak mendengarnya. Sebenarnya tak kuasa menahan ari mata. Tapi aku tak ingin Nina melihatku menangis. Aku tak ingin waktu berlalu terlalu cepat. Mengingat kanker yang bersemayam di otak Nina.
“tanpa jadi pohon pun Nina bisa kok ngelindungin Ayah sama Bunda. Sekarang saatnya tidur siang!”
“ayo ayo Bunda!”
Nina menggandeng tanganku ke kamarnya. Segera ku hapus air mata yang mengambang di sudut mataku.
Sebelum berlalu, aku tutup jendela itu. Jendela yang mengingatkan ku akan keadaan Nina yang sesungguhnya.
“Tuhan, panjangkan umur gadis kecil kami” doaku setiap saat.

Selasa, 04 Oktober 2011

D-E-W-A-S-A

Bagi sebagian orang, mungkin menjadi dewasa adalah hal yang mudah. Tapi bagi sebagian yang lain? Bisa aja menjadi dewasa itu musibah. Padahal udah sunatullah kalo semua manusia (pada umumnya) wajib melewati kedewasaan. Karna itu merupakan perjalanan selanjutnya setelah kita nempuh masa remaja.
Seperti yang gue atau kalian rasain sekarang, terutama bagi siswa kelas 3 SMA, “DEWASA” mulai menghantui pikiran. Dimulai dengan “sebentar lagi gue akan jadi mahasiswa”. Mungkin kehidupan di kampus itu gak jauh beda sama di sekolah. Hanya disana kita dituntut untuk lebih berpikir mandiri.
“Masa SMA adalah masa yang paling indah”. Pernyataan barusan bisa jadi benar. Dan kayaknya hampir 100% benar. Gue ngerasain, lo semua ngerasain juga. Ketika SMA mulai muncul kejadian “pertama kali seumur hidup”.
Misal: “gue pertama kali pacaran pas SMA. Cewek gue cantik, baik, duitnya banyak. Tiap malem minggu gue nge-date sama dia. Karna gue bokek, jadilah dia yang punya kuasa” kata salah seorang lelaki tak beruang dan hanya modal dengkul.
“di SMA, pertama kali gue pacaran. Cowok gue ganteng, jago basket, juara kelas. Gue sayang banget sama dia. Gue gak mau kehilangan dia. Tapi suatu saat, gue menyingkap fakta bahwa dia punya cewek lain. Dia selingkuh. Dan saat itu adalah pertama kalinya gue sakit hati yang teramat sangat. Gue minta putus dan selanjutnya pacaran sama tukang kebun sekolah. Setidaknya dia gak ganteng dan gak bakal ada cewek yang mau jadi selingkuhan dia” ungkap seorang cewek putus asa luar biasa.
Masih ada momen-momen istimewa, bahkan penting, yang terjadi di SMA. Bisa kita bayangin sendiri lah. Indah bukan? Sekalipun kisah cinta SMA kita gak pernah mulus, kita akan tetep mengenang itu. Mungkin kalo gak gengsi, kita bakal ceritain ke anak-cucu-cicit kita.
Ketika keberadaan kita di SMA sudah tidak di butuhkan lagi, seperti nasib anak kelas 3, kita akan mulai memikirkan “abis ini gue mau kemana ya?”, “aduh mau jadi apa nih?”, “lo setuju gak kalo gue langsung nikah aja?”. Guru-guru juga akan ngasih “sebentar lagi kalian jadi mahasiswa. Cobalah berpikir ke depan. Tunjukkan kedewasaan kalian”. Plis deh bu, pak, dewasa itu apa sih? Bakal keluar gak di soal UN nanti?
seorang ahli Psikologi Perkembangan, G.W. Allport, menungangkapkan pengertian tentang dewasa: Extention of self atau “pemekaran” dari diri sendiri. Hal ini berarti seseorang mampu untuk menganggap orang lain sebagai bagian dari dirinya sendiri. Contoh yang paling mudah adalah tumbuhnya perasaaan cinta. Orang dewasa yang mencintai biasanya diikuti dengan berkurangnya perasaan egoisme. Jadi apabila kita sudah beristri tapi salah satu masih menunjukkan egoisme dan memikirkan diri sendiri itu artinya kita belum bisa disebut mencintai apalagi dikatakan dewasa (mature personality)
pendapat temen gue, dewasa adalah "tau mana yang baik dan mana yang buruk". simpel. dan............. (mungkin) cukup bijak.
menurut temen gue yang lain, dewasa berarti "mampu mengendalikan emosi, pikiran dan hati. jika kita berhasil mengendalikan ketiganya, maka kita telah mencapai tahap kedewasaan yang matang". salut!

Gue yakin, menjadi dewasa itu gak semudah membalikkan telapak tangan. Di awal menuju kedewasaan, di usia sekitar 17-18 tahun, kita di minta untuk ninggalin kebiasan yang gak pantes dimiliki sama “orang dewasa”. Misal: udah dari kecil lo minum langsung dari aqua galon, lantas ketika dewasa lo diharuskan minum pake gelas hanya untuk mendapatkan gelar “pantas”. Sakit gaksih? Kurang lebih selama 17 tahun lo mencintai galon, terus tiba-tiba, sekonyong-konyong koder lo harus berpaling dan mulai mencintai gelas. Gue bersumpah pasti lo GALAU!
mulai timbul pertanyaan-pertanyaan kecil seputar kebiasaan.
"orang dewasa gak boleh nonton kartun ya?"
"makan lolipop juga gak boleh?"
"kalo minum susu masih boleh kan?"
apa yang bakal lo lakuin ketika lo dihadapkan pada sebuah situasi dimana lo harus memilih, antara menjadi dewasa atau tetep pada keremajaan bahkan kekanak-kanakkan?
well, Tuhan gak akan ngasih suatu cobaan yang manusia gak bisa menanggungnya. dewasa itu akan lebih mudah kalo lo bisa survive dan tetep jadi orang baik.