Jumat, 14 Maret 2014

Ungkapan yang Tak Pernah Selesai Dituliskan

Dengan ini, ingin aku sampaikan beberapa perkara yang telah kau selesaikan dan sedang kau kerjakan. Tentang semua kewajiban yang tak pernah kau hitung sebagai pengorbanan.

Ma, maaf,
-jika aku sudah banyak membuatmu khawatir bahkan sejak aku masih di dalam rahim
-jika di tengah tidur nyenyakmu aku terbangun, menangis lantaran haus dan minta susu
-jika belum ada satu kebaikan pun yang mampu membahagiakanmu barang setitik
-jika kemampuan bernalarku belum sampai pada tahap yang seharusnya
-jika ternyata aku lebih sering mendahulukan perasaanku tanpa pernah menjaga sedikit saja perasaanmu
-jika aku lebih memilih berada di luar rumah lebih lama ketimbang menemanimu menonton TV
-jika terkadang aku mempelajari sesuatu secara diam-diam tanpa menceritakannya padamu lebih dulu. Kau hanya perlu percaya bahwa aku melakukannya dengan baik-baik saja
-jika aku belum juga bisa akur dengan satu-satunya adik kandungku
-jika aku mendahulukan membeli buku daripada membelikan adik sepotong eskrim
-jika semua keputusan yang ada sekarang justru berkebalikan dari yang kau harapkan sejak dulu
-jika aku pernah berkata bahwa berkorban untukku adalah semata-mata tugasmu
-jika aku yang sekarang ternyata tak lebih lucu dari aku yang dulu
-jika pertanyaan pulang-jam-berapa darimu tak pernah berhasil aku jawab, tapi nyatanya kau tetap menunggu aku pulang kan? Meskipun sebenarnya dalam keadaan tidur
-jika ternyata aku belum bisa bertindak rapi dan telaten seperti dirimu
-jika aku pernah marah padamu. Tapi percayalah, tak ada sedikit pun keinginan untuk melukaimu dengan apapun
-jika aku sering mengabaikan pesan singkatmu. Lain kali, telepon saja :)

Ma, terimakasih,
-untuk sembilan bulan entah-berapa-hari tepatnya aku tinggal di rahimmu
-untuk semua asupan bergizi yang aku sedot melalui tali pusar selama aku di sana
-untuk seluruh sayang yang kau berikan tanpa mengenal waktu
-untuk hangat yang tak pernah bisa aku dapatkan dari selimut manapun
-untuk rumah yang pintunya selalu terbuka, sepagi apapun aku pulang dari urusanku di luar sana
-untuk keihkalasanmu mengalah ketika aku bersikeras dengan keputusanku sendiri
-untuk kepercayaanmu mengizinkanku pergi ke tempat yang jauh dari rumah
-untuk semua maafmu yang langsung terlontar ketika aku menemuimu dengan bermodal tangis
-untuk keluangan waktumu mendengarkanku bercerita tentang jatuh cinta dan sakit hati
-untuk kesediaanmu membangunkanku saat shubuh, sampai saat ini, ketika umurku hampir dua puluh
-untuk curi-curi waktu yang kau manfaatkan demi membaca blogku
-untuk kerelaanmu memenuhi keinginanku sampai perlu menguras tabunganmu
-untuk nasihat-nasihat tak kasat mata, tak kasat telinga yang sudah pasti terlewat olehku. Semoga nasihat yang terlewat itu masih bisa aku punguti satu per satu
-untuk mimpimu tentang diriku yang menjadi seorang akuntan. Mimpi yang harus kandas lantaran aku lebih memilih Psikologi sebagai studi lanjutanku. Semoga ini bisa mengobati kita bersama
-untuk menerima kebiasaanku yang tak sejalan dengan peraturan di rumah ini
-untuk doamu yang selalu menaungiku. Tak terbatas ruang dan waktu

Ma, seperti kangen, maaf dan terimakasih ini tak pernah selesai aku tuliskan. Tak pernah tuntas aku bicarakan padamu. Aku hanya takut jika aku menyelesaikannya saat ini dan semuanya menjadi tuntas, tak ada lagi yang bisa kita bicarakan sampai bola mata hampir lepas. Maka biarlah yang tak selesai dan tak tuntas itu tetap ada.

Ma, sayang ini nyata. Tanyakan saja pada Tuhan.


Tangerang, 14 Maret 2014, 23.50

Selasa, 04 Maret 2014

Bertanya pada Kawan

Kawan, kapan terakhir kali kita duduk bersama untuk merenungkan tentang apa saja? Ditemani berbagai cemilan dan minuman yang kita suka. Utamanya kau dengan keripik singkongmu dan aku dengan kopi tiramisuku.

Kawan, menurutmu, saat pagi menjelang, siapa yang lebih berhak mendapatkan udara segar gratis dari Tuhan? Para perokok di jalanan atau pasien di rumah sakit dengan tabung oksigen berbayar? Para kuli bangunan yang bekerja demi anak istri atau para mahasiswa yang berangkat lebih awal untuk posisi brilian saat ujian? Mari kita bicarakan, siapa tau bisa jadi orang yang lebih bijak di kemudian hari dan tidak pernah menganggap remeh permasalahan di pagi hari.

Sebelum kita lanjutkan, boleh aku minta sedikit keripik singkongmu? Cemilan lain seperti tak menarik seleraku. Nanti, kuberi kau dua teguk kopi ini. Ingat, tak lebih dari dua teguk!

Kawan, kau pernah sakit hati? Dengan keluargamu, mantan kekasihmu, atau bahkan barangkali aku pernah melukai hatimu tanpa aku sadari? Bagaimana rasanya? Pasti kau berikir bahwa kaulah korban sesungguhnya dari kejadian tersebut. Kaulah satu-satunya pihak yang tersakiti. Tak apa. Klasik. Kadang pun aku begitu. Tapi jika ingin dipikir-pikir, apa tujuan kita mendramakan hal itu? Agar dikasihani orang-orang? Ah kuno. Ternyata kita kuno dengan terus-menerus beranggapan bahwa yang-sakit-itu-aku-dan-bukan-kamu-dan-bukan-kalian. Kita sudah seharusnya berjanji untuk tidak melakukannya lagi. karena apa yang kita pikir sulit, apa yang kita rasa sakit, maka kenyataan akan datang begitu. Ada bagian diri kita yang harus “bergerak” dengan leluasa. Berikan hak mereka.

Keripik singkongmu semakin menipis. Dasar tukang makan! Mancung mana, hidung atau perutmu?

Kawan, menurutmu, siapa yang lebih berhak bahagia, kau atau ibumu? Kau yang mempunya ibu cantik nan lemah lembut dan rajin membangunkanmu saat subuh padahal usiamu sudah masuk kepala dua atau ibumu yang melahirkan anak lelaki berwajah tegas ditambah sedikit semburat lugu dengan rasa sayang yang tak diragukan? Apa kau bilang? Siapa yang lebih bahagia? Ayahmu? Karena memiliki kau dan ibumu? Dasar kau anak pandai. Ajari aku bagaimana menciptakan humor tanpa perlu mengobrak-abrik isi otakku.

Tidakkah kau bosan dengan pertemuan kali ini? Lagi-lagi kau dengan keripik singkongmu dan aku dengan kopi tiramisuku. Kalau aku, tidak. Terkadang seseorang butuh orang lain yang bisa menerima semua hal membosankan yang melekat pada dirinya. Tidakkah kau begitu? Tidak?! Dasar kau sombong! Kau tau? Keripik singkong itu yang bosan padamu. Percaya padaku!


Aku? Tentu tidak :)


Tangerang, 4 Maret 2014, 20:01