Sabtu, 26 Mei 2012

Congratulations!

Semua orang tau hari ini pengumuman kelulusan untuk SMA dan sederajat. Dari semalem gue udah gak bisa tidur. Apapun itu, yang namanya pengumuman pasti bikin deg-degan. Meskipun udah ada desas-desus sekolah gue lulus 100%, tetep aja belom plong kalo belom liat keterangan hitam di atas putih. Malah ada temen yang sms jam 2 pagi, ketakutan nggak lulus katanya *sigh*

Pagi ini, tepat jam 5 sekolah gue ngumumin kelulusan via website-nya. Masukin NISN, dan voila!!! Kita semua lulus :"""")) untungnya gue gak menemui masalah ketika ngecek pengumuman ini.
Jeng jeng jeng :"""""""")))


Tiga tahun yang lalu masih sibuk nyari sekolah, gak kerasa sekarang udah megang surat keterangan lulus :") intinya sih terimakasih buat semua-semuanya. Dari yang besar sampe yang kecil. Terimakasih, terimakasih, terimakasih :")

Senin, 21 Mei 2012

Bukan Desa Bahagia

Di sebuah desa bernama Bahagia, tinggallah Cinta, Harapan dan Cemburu. Mereka hidup untuk saling memenuhi kehidupan satu sama lain. Mereka tak pernah bertengkar lantaran sudah saling memahami karakter masing-masing sejak lama. Mereka sering menghabiskan waktu untuk berbincang di tepi pantai Melinjo. Debur ombak selalu menjadi tarian yang mereka nantikan. Ketika  menjelang sore, tak jarang mereka bertemu dengan Senja. Yang jika dilihat dari tepi pantai akan sangat memanjakan mata siapapun. Itulah salah satu alasan mengapa tepi pantai Melinjo selalu menjadi tempat mereka berkumpul.

500 abad kemudian di tepi pantai Melinjo menjelang sore, tiga kawan karib itu menunggu Senja. Akhir-akhir ini mereka menyadari bahwa ada sesuatu yang pudar dari Senja. Entah apa, belum ada yang bisa memastikan. Ketika ia mulai muncul, Harapan memberanikan diri bertanya, “ Senja, apakah kamu baik-baik saja?”.

“Tentu, Harapan. Memangnya kenapa? Aku kelihatan sakit? Itu hanya perasaanmu saja..” jawab Senja santai. Semburat oranye mulai menyilaukan mata.

“Harapan benar. Aku pun merasa ada yang aneh dengan dirimu.” sahut Cinta. “Semburat oranyemu tak lagi keemasan. Agak sedikit pudar. Dan…ah aku tidak tahu apa namanya. Intinya, kami merasa mulai kehilangan dirimu yang dulu” Lanjutnya mencoba mewakili kedua sahabatnya.

Senja hanya tersenyum. Kawan karib itu berani bersumpah bahwa senyum Senja yang barusan merupakan yang paling manis selama berabad-abad. Entah ini pertanda apa, tapi mereka tidak ingin memikirkan hal yang buruk.

“Aku amat sangat baik. Tak ada yang berkurang dengan oranye yang aku punya sekarang. Mungkin karena kalian terlalu sering melihatku sehingga kepuasan kalian mulai berkurang.” Senja masih menutupi apa yang sebenarnya terjadi.

Cinta, Harapan dan Cemburu menghela napas panjang. Mencoba menghilangkan segala kekhawatiran terhadap Senja. Mereka saling menyayangi. Tak ada yang ingin Senja terluka. Atau bahkan lenyap selamanya. “Baiklah kalau kau sebegitu yakin. Kami pamit pulang. Esok, kami mengunjungimu lagi.” Akhirnya Cemburu berbicara.

“Hati-hati.” Jawab Senja seraya melambai.


Benar saja, esok harinya tiga kawan karib itu berbincang lebih lama di tepi pantai untuk menunggu kedatangan Senja. Mereka tetap khawatir akan keberadaannya. Mereka menunggu dengan sabar. Berbincang sekedar untuk mengisi kekosongan waktu. Tentu saja, tak ada yang ingin melewatkan kehadiran Senja. Setelah sekian lama bercanda tanpa ujung, mereka menyadari sesuatu. Selarut ini kenapa Senja belum juga muncul? Apa yang terjadi? Bulan pun sudah menampakkan hidungnya meskipun sebatang. Mereka takut ada sesuatu yang sangat buruk terjadi pada Senja sehingga absen dari tatap muka dengan Desa Bahagia. Mungkinkah dia menemukan belahan bumi lain yang lebih indah?

Cinta mulai terisak dan berkata, “Kemana Senja? Hiks… apa yang terjadi padanya?”

Harapan mencoba menenangkan. “Jangan berpikir yang aneh-aneh dulu, Cinta. Mungkin Senja hanya butuh istirahat lantaran terlalu lelah menjalani tugasnya sendirian. Kita akan datang lagi besok.”

“Harapan benar. jikapun kita terus di sini, Senja tak mungkin muncul. Bulan sudah menguasai singgasananya.” Jawab Cemburu menanggapi. Mulai menyadari bahwa hari sudah agak gelap.

“Tapi bagaimana seandainya Senja benar-benar menghilang? Apa mungkin masa baktinya terhadap dunia telah habis? Tak bisakah Tuhan memperpanjangnya demi kita? Padahal kemarin ia berjanji akan bertemu dengan kita hari ini. Bahkan dia belum sempat menyampaikan salam perpisahan. “ Cinta panjang lebar menjelaskan kecemasannya.

“Cinta, tidak ada yang tau apa yang terjadi sesaat setelah kita meninggalkan Senja kemarin. Jangan menghakimi siapapun. Kita akan ke sini lagi besok. Semoga Senja sudah lebih baik dan kembali muncul.” Cemburu gantian menenangkan Cinta.

Akhirnya Cinta menurut dan mereka bertiga berjalan pulang ke rumah masing-masing. Segala macam hal berkecamuk dalam hati mereka. Bagaimana keadaan Senja saat ini? Benarkah Tuhan telah mengembaninya dengan tugas lain sehingga tak sempat mampir ke Desa Bahagia? Akankan ada Senja yang baru? Tak ada yang tahu pasti.

Ketiganya tidur dalam keadaan cemas dan waswas. Harapan memikirkan apa yang harus dilakukan seandainya Senja benar-benar menghilang. Cinta tentu tidak bisa membendung kesedihannya. Cemburu tak henti-hentinya berdoa di sela keterjagaannya.

Esok hari, mereka kembali ke tepi pantai. Sepanjang perjalanan, Cinta tak henti-hentinya menghujani Harapan dan Cemburu dengan pertanyaan yang sulit dijawab. Pertanyaan tentang keadaan Senja. Tentu saja, tak ada satu pun yang tahu apa yang sebenarnya terjadi. Harapan dan Cemburu hanya diam mendengarkan ocehan Cinta. Sesekali menanggapi dengan kalimat yang tetap tak bisa membuat Cinta berhenti bertanya.

Sesampainya di tepi pantai mereka langsung terdiam. Senja memang belum saatnya muncul. Mereka mencari tempat duduk yang nyaman. Cinta berada di antara Harapan dan Cemburu. Mereka terpaku menunggu kedatangan Senja. Cinta tak bisa membendung air matanya. Jatuh setitik dan ia buru-buru menghapus. Harapan dan Cemburu tentu mengetahui perihal keberadaan air mata Cinta. Tapi mereka diam. Pura-pura tak menyadari.

Satu tahun, dua tahun Senja tak juga muncul. Kekhawatiran mereka mengklimaks ketika Bulan keluar malu-malu. Cinta tak lagi mampu menahan air matanya. Ia menangis sejadi-jadinya. Muka Cemburu kaku. Tak tahu harus berlari mencari Senja atau tetap diam di sini. Harapan mencoba memulihkan keadaannya sahabat-sahabatnya.

“Benar saja, Senja telah hilang. Mungkin kembali pada tempat asalnya. Aku menyesal kenapa waktu itu tak menunggui Senja jika itu merupakan saat-saat terakhir ia di dunia. Apa yang harus kita lakukan sekarang? Haruskah kita mencari? Haruskan kita tabur bungan di tepi pantai ini??” Cinta akhirnya angkat bicara setelah berhasil mengatur napas akibat air mata yang tak hentinya menetes.

“Tenang dulu, Cinta. Jangan cepat mengambil keputusan. Seandainya Senja benar telah pergi, mungkin itu adalah keadaan yang paling baik. Untuk kita, terlebih lagi untuk dirinya. Kita tak punya kekuatan apa-apa untuk bisa mengembalikannya ke sini. Percayalah, Tuhan punya rencana lain. Kita ikhlaskan saja.” Harapan selalu jadi pihak yang paling bisa menenangkan.

Cemburu terpaku menatap ombak yang menari lebih lambat. Seakan ikut bersedih akan apa yang baru saja dialami Cinta, Harapan dan Cemburu. Kemudian Cemburu bangkit dari duduknya dan mengajak kawan-kawannya pulang. Hatinya kusut. Kebimbangan menyelimuti sebagian dirinya. Cinta dan Harapan mengikuti ajakan pulang Cemburu. Mungkin rumah menjadi tempat yang paling bisa mengerti ketika keadaan sedang pahit seperti ini.

Berabad-abad setelahnya, mereka menjalani hidup  di Desa Bahagia tanpa kehadiran Senja. Agak sulit bagi mereka untuk menerima kenyataan yang ada. Tapi bagaimanapun, hidup ini harus tetap berjalan. Pahit atau manisnya takdir yang telah ditetapkan. Mereka tetap suka bekumpul di tepi pantai meskipun tak lagi bermaksud menunggu kedatangan Senja. Karena siapapun pasti tau, Senja tak mungkin kembali. Hanya tepi pantai itu yang menyimpan kenangan mereka dengan Senja.

Pada suatu hari, datanglah segerombolan manusia ke Desa Bahagia. Entah dari mana asalnya. Cinta, Harapan dan Cemburu menerima keberadaan mereka dengan senang hati. Tanpa tahu apa maksud manusia-manusia itu datang ke sini. Mereka mulai membaur dengan penduduk baru itu. Menjalani hidup ini seperti biasa.

Lama-kelamaan, Cinta, Harapan dan Cemburu mulai merasa ada yang tidak beres dengan kehidupan di Desa Bahagia. Tentu berkaitan dengan hadirnya manusia-manusia itu. Tak sedikit dari mereka yang memanfaatkan Cinta untuk menyambung hidup mereka. Ada yang mengeskploitasi Cemburu secara berlebihan. Bahkan tak jarang Harapan dijadikan sebagai pemanis di setiap kata-kata mereka. Kehidupan Cinta, Harapan dan   Cemburu tak lagi bahagia seperti sedia kala. Terkadang mereka saling cekcok satu sama lain. Mereka jadi jarang berkumpul di tepi pantai. Sekedar untuk menikmati ombak pun terasa tak lagi menyenangkan.

Perlahan, Cinta, Harapan dan Cemburu berniat meninggalkan Desa Bahagia. Kemana saja. Asal tidak bersama makhluk-makhluk serakah yang sekarang menguasai desa. Manusia-manusia itu telah merusak kehidupan sejahtera mereka. Manusia-manusia itu hanya manis di pertemuan awal.

Sebelum akhirnya pergi, mereka memutuskan untuk mengganti nama desa yang telah sekian abad mereka tempati. Agar mereka bisa membangun Desa Bahagia yang lain. Di tempat yang berbeda tentunya. Setelah berunding, sampailah pada keputusan sebuah nama yang baru, yaitu “Bukan Desa Bahagia”.

12.50
21052012

Jumat, 18 Mei 2012

Hidup ini Bukan Sekedar Potongan Jeruk Nipis

Citrus Aurantifolia. Merupakan tumbuhan dari kingdom Plantae. Sesempit itu yang aku tahu. Tak perlu lebih. Tak perlu mendengar dari banyak orang. Aku rasakan sendiri keberadaannya.

Wahai kalian yang berparas cantik, sesungguhnya, dari mana keelokan wajah kalian berasal? Buatan sendiri kah? Atau ada Dzat lain yang mampu memperindahnya sehingga membutakan setiap mata yang mampu melihat? "Kosmetik", itu jawaban dari sebagian kalian.  Pun ada beberapa yang menyebut Tuhan sebagai pemilik keelokan wajahnya. Sekarang aku tanya, jika kosmetik lenyap begitu saja seperti api membakar dedaunan kering, akankah itu menjadi kiamat bagi kalian? Mungkinkah kalian tak akan menampakkan wajah kalian tanpa kosmetik kepada dunia? Iya atau iya? Huh! Sini, aku perkenalkan teman kecilku. Sebut saja Aura. Nama lengkapnya Citrus Aurantifolia. Dia bercerita padaku bahwa dirinya mampu mengangkat toksin dari wajah kalian. Apalah hebatnya kosmetik yang sempurna jika hanya mampu menutupi yang buruk? Karena sesungguhnya yang buruk bukanlah untuk ditutupi, tapi dihapus dan diperbaiki. Siklus kehidupan ini pasti menimpa setiap manusia. Dari bayi, sampai akhirnya mati. Sekali lagi, hidup ini bukan sekedar potongan jeruk nipis. Bukan pula wajahmu yang seberapa manis.

Sabtu, 12 Mei 2012

Rumit

Pagi tadi, aku dibangunkan mimpi. Serela itu ia mengakhiri dirinya sendiri. Karena dia tahu, aku selalu menanti terbitnya matahari. Aku lihat ke arah timur. Tak perlu kompas. Matahari memberikan sinarnya sebagai petunjuk. Pintarnya aku dan hebatnya Sang Pencipta matahari.

Ketika siang aku aku tak bergeming melihat bayanganku di aspal. Aku tak suka matahari jam 11. Dan mulai saat itu, aku merasa naïf. Aku seperti melihat dua matahari di dunia ini. Matahari pagi yang tenang dan  ganasnya Si Raja Siang.

Beranjak sore aku bermandikan senja. Ibu berpesan aku tak boleh mandi terlarut sore. Aku bilang “Bu, aku tidak mandi dengan air. Coba lihat ke barat, Bu. Itu sesuatu yang lebih menyegarkan daripada air”. Aku tunjuk semburat oranye di sana dan kubiarkan Ibu duduk di sampingku. Mungkin segera menyelami pikirnya yang dalam. Di alam pikirmu, tak perlu takut tenggelam sekalipun kau menyelam ke dasar samudra otakmu.

Malam tiba, aku berteman sepi. Banyak sekali barang berserakan di lantai kamarku. Dari mulai kaus kaki sampai sikat gigi, pulpen antik sampai sajak yang belum sempat kuketik lantaran aku hanya bisa mengingatnya tak lebih dari empat detik. Kemudian ide-ideku kembali menguap. Mentok langit-langit.

Detik ini, aku temukan diriku menatap barisan kata-kata amburadul yang aku sebut puisi. Entah pantas atau tidak, kalian tak berhak menghakimi. Cukup nikmati.

Dan kamu, dimanapun keberadaanmu, setajam apapun kata-katamu, tetap tak bisa menerka apa gerangan yang mendorong Tuhan ciptakan cinta serumit ini.

22.33
12052012

Mana yang Asli

Di dunia ini, mana yang asli? Hidupku kah? Tanpa kalian tahu, aku hidup dengan gila. Kepalsuan beredar dimana-mana. Bahkan segelintir orang lebih gila dariku. Mereka anggap diri mereka palsu dan bayangan hitam adalah asli. Mereka takut menatap cermin. Takut menghadapi segala ingin.

Di dunia ini, mana yang asli? Makanan yang ada di perutmu bahkan tak bisa disentuh. Hanya masuk melalui rongga mulut, meneruskan perjalanan melalui esofagus, melewati lambung, diolah di  usus rumit dan sisanya dibuang lewat anus. Lalu kau harus ikhlaskan apapun yang telah keluar. Bahkan yang bisa membuatmu kuat sekalipun. Belum kutemukan lagi mana yang asli.

Di dunia ini, mana yang asli? Bibirmu yang terkembang menyimpan bermacam deskripsi. Yang aku yakini bahwa manis wajahmu mampu kalahkan Tompi. Dan kata-katamu terelakkan begitu saja oleh Sapardi. Ah maaf, aku harap kedua orang besar itu tidak pernah membaca ini.

Di dunia ini, mana yang asli? Kau lihat tumpukan buku-buku lusuh itu? Yang sudah ajarkan aku ilmu. Sekalipun aku sulit memahami diksinya. Sekalipun aku butuh kamus untuk tahu deskripsi katanya. Sekalipun aku butuh bantuan otakmu untuk mencerna pelajarannya. Semuanya masih terjamah oleh palsu. Terkadang aku pun berpikir bahwa penulis mereka hanya tokoh ilusi. Yang dunia ini saja tak mengakui keberadaannya.

Di dunia ini, mana yang asli? Bahkan dalam hal mencintai seseorang pun masih diselingi palsu. Yang kau sadar bahwa itu salah, tapi masih bertahan dengan terus mengalah. Diinjak begitu saja. Tenggelam dalam rindu yang menyiksa. Dan mati perlahan karenanya. Siapa peduli? Objek cintamu pun menghilang ditelan harapan melayang-layang.

Di dunia ini, mana yang asli? Pandangi wajah ibumu. Mampukah ia sebutkan kasih sayang mana yang tulus? Di dalam hati ia berkata, semuanya, Nak. Lalu pandangi wajah ayahmu. Bisakah ia sebutkan tulang mana yang tidak ia banting untuk menghidupimu? Menghidupi keluarganya? Di dalam hatinya, tulang rapuh sekalipun tak ada yang luput dari kerja keras.

Di dunia ini, mana yang asli? Kau terus rapalkan doa dan mengharap balasan. Tapi perlahan kau mundur, lama-lama berhenti lantaran Tuhan tak segera menjawab doamu. Kau hanya kurang sabar. Karena sebenarnya Tuhan telah siapkan sesuatu yang mampu melunaskan doa-doamu yang belum terbayar.

Aku lelah mencari yang asli. Aku biarkan kegilaan makin menggerogoti sel-sel otakku. Jadi, di dunia ini, mana yang palsu?

17.12
12052012

Sabtu, 05 Mei 2012

Salah Kaprah

Assalamualaikum :) pripun kabare? mugi-mugi sehat sentosa :)
Kali ini, gue mau share beberapa polemik --Subhanallah bahasanya-- yang sering kita dengar berikut tanggepan dari gue. Bukan, bukannya mau ngajarin. Tapi, udah sepatutnya kita sama-sama sadar bahwa hidup ya emang kayak gini. Banyak ujiannya. Di akhirat aja masih diuji. Apalagi pas di dunia.
Cekidot...

1. Q: Kenapa kok kayaknya hidup gue susah mulu ya? Orang lain hidupnya bahagia-bahagia aja tuh. Malah ada yang ketawa-ketawa di atas penderitaan gue.
A: Well, setiap orang punya masa bahagia masing-masing. Jangan kira lo cuma dikasih sedih doang selama hidup di dunia. Ada bahagia-bahagia kecil yang ternyata nggak lo sadari. Contoh, fisik yang lengkap. Jadi lo gak butuh kruk untuk nopang lo berdiri, masih bisa liat diri lo yang cantik/ganteng lewat cermin, bisa update Twitter dengan jempol yang sempurna, dll. Yang gue sebutin barusan itu cuma bagian kecil dari sekian banyak hal. Silakan temuin kebahagiaan lo masing-masing :)

2. Q: Gue udah usaha sampe jungkir balik tapi kenapa hasilnya gak sebanding dengan usaha gue?
A: Jungkin balik seperti apa yang lo maksud? Kalo jungkir baliknya cuma salto di kasur sih ya gak bakalan dapet apa-apa. Gini, jadi manusia itu jangan cepet puas. Baru belajar 30 menit aja lantas lo bilang "Kemaren gue udah belajar sampe suntuk tapi ngerjain ulangan tetep gak bisa". Itu karena lo cuma puas dengan belajar 30 menit, setelahnya malah nonton sinetron sampe 2 jam, nangis-nangis terbawa suasana di sinetron, besoknya juga nangis liat soal ulangan.

3. Q: Kenapa sih gue gak secantik/seganteng dia? *atau pertanyaan apapun yang intinya sama*
A: Tuhan tau banget apa yang terbaik buat kita. Secara, Dia yang nyiptain kita. Paham banget apa yang ada di dalam dan di luar diri kita. Kenapa Tuhan cuma ngasih lo idung yang 5cm aja kayaknya gak sampe? Mungkin takutnya kalo lo dikasih hidung yang mancung semampai, elo akan sombong. Kalo ada jerawat betengger di ujung hidung nantinya elo bete sampe 3 bulan gara-gara menurut lo jerawat amat sangat merusak appearance puncak idung lo. Kenapa pula otak lo gak ada sehat-sehatnya sama ilmu? Karena elonya kurang usaha buat temenan baik sama ilmu. Pada dasarnya, gak ada manusia yang bego, yang ada itu manusia males. Fakta berbicara "Otak orang Indonesia kalo dijual jatohnya mahal banget loh. Soalnya masih aseli, gak pernah dipake". Nah!

4. Q: Kenapa sih gue mau hidup bebas aja pake dilarang-larang segala? Banyak aturan yang harus dipatuhi.
A: Manusia punya akal sama nafsu. Hewan cuma punya nafsu. Hidup mereka bebas. Yang jantan terserah mau kawin sama siapa aja, sampe berapa kalipun terserah. Gak perlu pusing bakal ngasih makan apa ke anak-anaknya yang bejibun. Monyet mau gelantungan di pohon mana aja gak ada yang larang, kuda nil mau berkubang di danau mana pun gak ada yang mikirin, anjing mau gonggongin kafilah dari negeri apapun gak ada yang peduli. Elo mau hidup bebas? Tuh hidup aja layaknya elo ini binatang yang gak punya aturan.

5. Q: Kenapa gak ada orang yang ngertiin perasaan gue? *pertanyaan dari segala macam pertanyaan*
A: Let me guess. Untuk pertanyaan ini kayaknya lebih banyak keluar dari mulut cewek. Atau bisa jadi beberapa cowok melankolis juga akan melontarkan pertanyaan yang sama. Ehem. Kita hidup di kalangan multiperasaanisme --blah--, punya karakter beda, terrmasuk dalam urusan memanage perasaan masing-masing. Setiap orang pasti butuh yang namanya pengertian. Sekeras apapun orangnya. Naif ya kalo dirasa ada orang yang dengan sombongnya bilang kalo dia ini gak butuh pengertian dari siapapun. NA-IF BA-NGET! Kenapa bisa timbul pertanyaan seperti poin 5 ini? Kalo menurut gue lebih karena kita sendiri yang gak bisa --atau mungkin belum bisa-- ngertiin orang. Fakta berbicara "Kalo setiap orang maunya bicara, siapa yang akan dengerin?". Kalo setiap orang maunya dimengerti, siapa yang mau ngertiin? Intinya sih semua itu berawal dari diri sendiri.

Oke kayaknya polemik yang mau dishare segitu aja dulu. Kalo ada yang baik ya monggo dipetik, kalo dirasa tidak baik silakan kritik :)

Salam Jomblo!