Sabtu, 01 September 2018

Persepsi

Bagi saya dan teman-teman yang mempelajari ilmu Psikologi, bahasan tentang persepsi merupakan tema dasar yang sudah ditemui sejak awal. Kalau boleh saya bilang, mungkin tema tersebut merupakan salah satu faktor yang membuat kami “sebegitu” mewajarkannya berbagai gagasan dari orang lain. Sekalipun misalnya gagasan tersebut sangat bertentangan dengan apa yang kami pikirkan dan yang kami yakini.

Persepsi membuat seseorang bisa memaknai sesuatu dengan cara yang sangat bervariasi. Tergantung bagaimana panca inderanya menangkap stimulus, tergantung bagaimana memorinya me-recall informasi yang dimiliki, dan tergantung bagaimana ia akan mengungkapkan, verbal atau nonverbal kah, sesuai atau tidak sesuai kah, dll. Persepsi ini mempengaruhi perilaku. Orang yang mempersepsikan suara keras sebagai hal yang tidak menyenangkan, bisa diperkirakan ia tidak akan mendatangi konser musik rock. Orang yang menyukai tantangan cenderung akan memilih media hiburan yang dapat meningkatkan adrenalin, misalnya mengerjakan tugas seabrek dalam waktu 2 jam sebelum deadline. Stimulusnya sama, responnya beda (ini beneran udah kayak belajar Psikum ya, guys.). Penyebabnya banyak, dan semua penyebab itu ada dalam diri kita. Tinggal dikuliti satu per satu.

Perbedaan seseorang dalam mempersepsikan sebuah kejadian itu bisa mengantarkan pada sebuah masalah. Oh sorry, bukan masalah, tapi di-na-mi-ka. Sebagian orang tua mempunyai persepsi bahwa anak yang normal adalah yang mudah berteman dan berani tampil. Lalu bagaimana dengan yang pemalu dan butuh waktu untuk adaptasi dengan lingkungan baru? Bisa dibilang tidak normal, mungkin orang tua akan sangat khawatir dan berpikir bahwa ada hal yang tidak beres dengan sang anak. Kemampuan adaptasi manusia itu berbeda-beda. Tidak bergabung dengan  gerombolan anak yang sedang bermain tidak lantas menjadikan anak tersebut sebagai anak yang tidak mau berteman. Mungkin butuh pendampingan barang 5 menit, mungkin butuh yakin dulu bahwa lingkungan baru ini "aman" baginya. Nggak salah kok selama perilakunya belum sampai mengganggu aspek perkembangan yang lain. Yang ramah ya normal, yang pemalu juga normal.

Ada lagi sebagian orang tua yang menganggap bahwa anak yang minatnya di jurusan Sains akan lebih sukses dibanding dengan anak yang minatnya di jurusan Sosial. Orang tua berusaha keras sampai terkadang memaksa agar si anak bisa diterima di jurusan Sains yang mungkin saja anak tersebut tidak menaruh minat sama sekali dengan Biologi dan teman-temannya. Bisa jadi ia sangat tertarik dengan inflasi atau kronologi Perang Padri. Kalau mau jadi dokter, jelas harus minat di Sains. Waktu masih kecil, hampir semua anak bercita-cita ingin jadi dokter. Tapi sungguh, kita semua ini, yang dulunya juga anak-anak, akan berprofesi sebagai selain dokter pada waktunya.

Kenapa saya bicarakan persepsi orang tua terhadap anak? Karena saya menemui beberapa kasus dimana orang tua terkungkung sendiri di dalam persepsi yang mereka bebankan kepada anak. "Halah, emang situ udah tau rasanya jadi orang tua dengan anak yang demikian?" Misalnya ada yang nyeletuk gitu. Emang, saya belum tau bagaimana rasanya jadi orang tua (nikah aja belum, Sisters) dengan anak yang berminat menggeluti bidang otomotif, padahal misalnya, saya sangat ingin anak saya mahir bermain alat musik. Tapi, semoga saya tetap bangga. Saya belum tau bagaimana stresnya apabila anak saya ingin masuk ke jurusan Ilmu Sosial sementara misalnya kakak kandungnya bisa sukses di ranah Sains. Semoga saya tetap dukung dia dan memberi pengertian bahwa sukses itu indikatornya beragam dan tidak menjadikan orang lain sebagai patokan.

Yang salah itu bukan persepsinya, melainkan karena kurangnya pengetahuan sehingga akan mengantarkan kita pada labelling yang tidak pada tempatnya. 

Bila ada yang tersinggung dengan tulisan ini, mohon maaf, saya bukan ingin menyinggung. Kalau ingin menyinggung, saya justru akan senyum...

Itu menyungging, Fa, please.... Menyunggingkan senyum.

Oh iya. 

Saya bikin tulisan ini sebagai titik balik saya kembali ke blogger. Saya bilang sama diri sendiri, "Nulis lah yang serius. Biar beberapa tahun lagi, kalo baca tulisan sendiri, ya ada ilmunya meskipun dikit". Baik. Saya laksanakan.