Rabu, 21 November 2012

Ini Mimpi

Waktu itu, cita-cita saya adalah dokter. Dua detik kemudian saya ingin jadi polisi. Esok harinya ingin jadi astronot. Dua tahun kemudian ingin jadi sutradara. Tapi apa? Dua belas tahun kemudian saya hanya jadi pengamen. Di lampu merah, kereta api, bis kota, bahkan mengamen untuk diri sendiri. Mimpi saya saat kecil terperangkap di antara petikan senar dan jari saya. Paru-paru saya teracuni asap rokok dan mungkin sudah mulai berkerak. Padahal ini pinjaman Tuhan. Apa daya saya hanya bisa merusak.

Saya pikir kantor ber-AC adalah rumah kedua saya, Toyota Fortuner  adalah kendaraan saya dan sekretaris cantik nan seksi adalah makanan sehari-hari saya. Tapi apa? Sepertinya saya terlalu banyak tidur sampai lupa bahwa yang saya tiduri hanyalah tikar, dan bukan kasur. Saya lupa bahwa ada harga yang harus dibayar mahal bahkan untuk beberapa impian kecil.

Saya diam. Terpaku. Ah saya lelah bermain lego melulu. Dunia lego terlalu sempit. Tapi takdirnya Tuhan itu luas tak terhimpit. Saya kembali ke dunia konkret. Dan mulai membuat daftar mimpi baru yang lebih rumit. Ini kertas saya, dan bukan punya kamu. Ini papan ular tangga saya, dan kamu hanyalah dadu.

21112012
18.52

Jumat, 09 November 2012

Sajak Mencuci Piring

Piring kotornya menumpuk. Sudah dua bulan tak ada yang mencuci. Keluarga ini kehabisan uang untuk hidup. Lantaran terlalu sering membeli piring. Sang suami dipecat dari kantor. Setiap harinya ia membawa piring di pantry kantor ke rumah. Juga gelas, sendok serta garpu. Sang istri dikucilkan tetangga. Meminjam piring tapi tak ada satupun yang dikembalikan. Tetangga geram. Kelak makan menggunakan apa keluarga mereka.

Suami-istri ini luntang-lantung di rumah sendiri. Perut lapar. Dua hari tak makan. Sekarang banyak lalat yang hinggap di piring kotor. Dapur mereka sangat menjijikan. Lantainya yang semula putih telah berubah jadi kekuningan. Tempat mencuci piringnya bagaikan Bantar Gebang. Sang istri berdoa,  Tuhan, tolong turunkan malaikat yang tangannya gesit mendandani semua piring ini!

Seminggu kemudian, mereka hampir mati. Hanya oksigen yang masuk ke dalam paru. Lambung mulai mengkerut. Tak lagi membentuk perut. Tak ada tetangga yang membantu. Tak mau merugi lagi karena kehilangan piring, sendok dan garpu. Yang mereka lakukan hanya terus berdoa.

Sepi. Hening. Bau. Mereka berasumsi akan mati dua detik lagi. Napas mereka satu-satu. Mata tak lagi menangkap sedikitpun cahaya. Mereka berpegangan. Berharap bisa mati dalam keadaan lebih terhormat. Tapi apa daya. Piring kotor di dapur seakan menghantui. Ingin melumat habis mereka. Ah, tunggu! Mereka merasakan ada seseorang yang datang. Itu! Di pojok ruangan. Seorang perempuan dengan gaun putih sampai mata kaki. Rambutnya hitam legam dikucir kuda. Jemarinya lentik dengan kuku yang seakan sedang duduk manis. Cantik. Sangat cantik. Tuhan, apakah ini yang kami pinta sejak dulu? Seorang malaikat yang kelak akan mencucikan semua piring kotor di dapur? Amboi! Tapi ini bidadari. Ya kan, Tuhan? Kau anugerahi kami bidadari? Teriak sang suami dalam hati. Sang istri berusaha memeluk suami. Mereka terharu. Mereka yakin dua detik lagi akan makan dengan piring yang bersih.

Sang bidadari berjalan anggun menuju dapur. Tak ada sedikitpun raut kejijikan dari wajahnya. Tetap tersenyum. Perlahan menuangkan cairan pencuci piring. Mengambil spons dan dengan lihainya memoles semua piring kotor. Voila! Dua detik kemudian semuanya sudah bersih. Cit cit cit! Begitu bunyi permukaan piringnya. Ditengok keadaan sang suami dan istri. Bidadari tersentak. Belum sempat makan enak, dengan piring yang bersih, mereka telah dipanggil Tuhan. Bidadari menangis sejadi-jadinya. Apa gunanya ia bersihkan semua piring jika mereka akhirnya mati juga. Dengan sekuat tenaga, bidadari kuburkan sepasang kekasih ini dalam satu lubang di halaman belakang. Tak lupa semua piring yang berdecit dimasukkan ke dalamnya. Lantas bidadari pergi. Bersama sebuah piring dengan noda darah di permukaannya. Aku mengambil sedikit darah mereka sebagai kenang-kenangan, ujarnya.



19.00
09112012