Jumat, 29 Juni 2012

Aku Pakaian Lama, Kamu adalah Lemarinya

Aku mengenalmu sebagai seseorang yang melindungiku. Sekian lama kita hidup bersama. Belum pernah sekalipun aku dipindahkan ke tempat lain. Mungkin si manusia tahu, kamu adalah tempat ternyaman bagiku.

Jika ada penghuni baru, tak jarang aku merasa asing. Mereka indah dan enak dipandang. Berbeda sekali dengan diriku. Aku berada di tumpukan terbawah. Tepat mengenai kulitmu. Ya, akulah pakaian lama.

Aku ingat, aku dibeli oleh si manusia sekitar dua tahun lalu. Dan voila! Di sinilah kita bertemu. Ketika itu, aku menjadi pakaian kesukaan si manusia. Dia selalu memakaiku selagi bisa.

Perkenalan kita teramat singkat. Kamu lemari, dan aku pakaian baru. Ya, saat itu aku masih tergolong baru. Berbeda dengan apa yang ada sekarang. Ketika si manusia mulai bosan denganku, barulah aku bisa mengenalmu lebih dalam. Tidak, aku tidak tertarik dengan pakaian lain. Justru kamu yang mencuri perhatian. Aku merasa hangat berada di dalammu. Dari sisi manapun kau terlihat gagah. Kulitmu yang coklat makin menambah simpati. Aku suka kamu. Dan seluruh sudut-sudutmu.

Waktu bergerak cepat. Tak terasa. Bahkan aku lupa bahwa aku adalah penghuni lemari. Kamu. Aku lupa bahwa aku ini pakaian lama. Aku lupa bahwa si manusia bisa saja membuangku. Kapan saja. Memisahkan aku denganmu. Lemari pelindungku. Aku sampaikan kekhawatiran ini padamu. Mengingat semakin banyak teman-teman lamaku yang sudah berpindah tempat. Mungkin lima detik lagi adalah bagianku. Mungkin besok. Atau lusa. Aku cemas. Belum siap berpisah darimu. Kau tak banyak bicara. Tapi diammu penuh makna.

Sore itu, si manusia membuka lemari dan menyadari keberadaanku. Di lapisan terbawah. Aku tau ini adalah waktuku. Aku siapkan segenap kekuatan untuk meninggalkanmu. Diletakannya aku di lantai. Lalu, si manusia menurunkan semua pakaiannya. Tanpa kecuali. Aku diletakkan jauh dari pakaian lain. Tak salah lagi, sekaranglah waktunya aku terpaksa pergi. Tak lama kemudian, datang dua orang manusia lain membawa sesuatu yang besar. Melebihi besarnya dirimu. Aku mengenalinya. Sebuah lemari baru. Olala. Kita telah tergantikan, Sayang. Sudah habis masa bakti kita pada manusia ini. Kita bisa pergi ke tempat pembuangan bersama. Dan kamu, tetap menjadi tempat ternyamanku.


21.27
29062012

Gelembung Sabun

Aku ini gelembung sabun. Aku kuat bertahan sampai berabad. Asal kamu yang membuatku sehat. Aku tinggal di bawah langit yang sama denganmu. Di tempat yang selalu ada kamu. Hatiku. Tentu saja, sudah sejak lama kamu mendiaminya. Padahal itu milikku. Tapi aku tak berani mengusikmu.

Aku ini gelembung sabun. Membulat ketika hatiku sedang rindu. Dan melonjong ketika kamu bangun dari tidur panjangmu. Bagaimana mimpimu, Sayang? Adakah gelembung sabun lain yang merasuki mimpimu? Ini aku, ada di realitasmu.

Aku ini gelembung sabun. Terbang tinggi untuk menjemputmu yang lelah dengan duniamu. Mengunjungi duniaku yang abstrak dan lebih berliku. Tenanglah di sini, Kasih. Seandainya ada gelembung lain yang melukaimu, katakan padaku. Ada pedang di balik tubuhku yang ungu. Akan kutusuk mereka sampai kaku.

Sampai suatu hari. Aku adalah gelembung sabun yang kehilangan kamu. Kau pergi tanpa pamit. Kenapa kau tidak meninggalkan barang sepucuk surat pun? Tentu saja aku bisa membaca. Apa gerangan yang membuatmu hilang? Padahal aku lebih rentan darimu. Tapi mengapa kamu yang terbang membisu?

Tuhan, pecahkan saja aku.

Kabari Dia jika kau hendak kembali. Agar disiapkannya lagi sumber gelembung yang baru. Silahkan kau tiup, maka hadirlah aku.

18.31
29062012

Sabtu, 16 Juni 2012

Maaf


Ibu, mari bicara. Maaf jika aku telah lancang melukai hatimu. Padahal aku tau, kau telah menghabiskan sebagian hidupmu untuk membantuku. Membantu aku hidup dan memaknai kehidupan. Maaf jika terkadang aku tak menjalankan perintahmu. Semata bukan aku tak ingin. Tapi tunggulah beberapa detik. Biarkan aku menarik-hembuskan udara ini barang semenit. Kau merupakan komandan terhebat, Bu. Semua tugas dari Tuhan kau laksanakan dengan baik. Seberat apapun itu. Maafkan jika aku belum menjadi apa yang selama ini engkau cita-citakan. Belum menjadi apa yang baik menurutmu. Aku selalu berkilah dan bertindak sesuai apa yang baik menurutku. Semuanya butuh proses. Dan waktu. Maafkan jika sampai dewasa ini aku tetap egois. Aku tetap tak ingin menjadi guru atau seorang ekonom. Atau pegawai negri bahkan profesor. Tidak Bu, kau memang tidak memaksa. Biarkan aku terus bicara. Maafkan jika aku tak pernah memberimu apa-apa. Sekalipun itu hadiah mungil di hari ulang tahunmu. Atau hadiah sebesar bom di hari ibu. Maafkan jika caraku menggapai masa depan tak seperti yang kau inginkan. Ini proses, Bu. Kau boleh menegur saat aku tak lagi di jalan yang seharusnya.
Maafkan jika hatiku tak sejalan dengan hatimu. Semua hanya butuh waktu.

Dariku, yang menyayangimu.


17.44
16062012