Jumat, 23 Oktober 2015

Pensil Alis

Aku ingin menjelma menjadi pensil alis
Milikmu
Duduk manis dalam tas kerjamu
Bersebelahan dengan parfum, flashdisk juga dompet
Tak ada yang aku inginkan selain menemani kau pergi

Sejenak ketika kau goreskan aku di dahimu
Aku ingin meresap ke dalam kulitmu
Menelusur lebih jauh ke dalam pikiranmu

Pukul dua belas siang lewat sepuluh menit
Aku tak ingin hilang bersamaan air wudhumu
Biar saja aku gelantungan di ujung rambut alismu
Menjuntai berantakan
Bermaksud kau goreskan aku lagi

Sejenak ketika kau goreskan lagi aku di dahimu
Aku ingin semakin meresap ke dalam kulitmu
Menelusur lagi lebih jauh lagi ke dalam pikiranmu

Adakah aku yang nyata di sana
Bukan aku yang pensil alis
Adakah aku yang nyata pernah mengindahkan memorimu
Bukan aku yang mengindahkan barisan alis di dahimu

23/10/2015
21.28

Jumat, 25 September 2015

Ada

Ada yang dipaksa saat aku menulis ini. Baik itu jemari maupun kemampuan menyusun kalimat demi kalimat dan tanda baca yang tepat. Apabila aku salah menempatkan koma atau tanda tanya atau lupa menempatkan tanda titik bahkanspasi, maafkan saja ya. Tak ada yang lebih menyebalkan ketika inginmu adalah beristirahat tapi kamu tak mampu, atau inginmu muntah kata tapi tak keluar juga.

Ada yang ditahan saat aku menulis ini. Marah yang bersebab, tapi sudah hilang lagi sebelum kamu sempat sadari. Ini namanya marah sendiri. Maka jangan pernah kamu sepelekan perempuan yang tiba-tiba diam padahal sebelumnya dia bertingkah bak tukang obat yang menawarkan penyembuh-penyembuh bagi sedihmu atau penguat-penguat bagi senangmu.

Ada yang berisik di kepalaku. Berbincang tentang kamu. Melulu.

16.51
25 Sept 2015

Sabtu, 08 Agustus 2015

Rindu.

Banyak sekali barang di kamar itu. Yang bersih, yang penting, sampah, entahlah. Tak bisa aku pilih mana yang ingin kubawa pulang, mana yang ingin kubiarkan tinggal. Maka berpindahlah aku ke ruang tamu, untuk sekedar menghirup oksigen yang tak terlalu banyak menyimpan debu.

Waktu berjalan saja tanpa pernah menunggu. Ternyata aku habiskan waktu hampir tiga jam hanya untuk berdiam di ruang tamu. Aku mengutuk diri sendiri, katamu, kau ingin pulang! Baiklah, aku beranjak dan kembali masuk kamar, tak ada yang berubah. Masih saja berantakan, masih saja entahlah. Akhirnya kuputuskan untuk tidak membawa apa-apa. Kecuali dompet, handphone, dan barang kecil lainnya. Kugendong ranselku. Ingin pulang. Tapi aneh, kenapa ransel ini rasanya berat. Seperti ada banyak batu di dalamnya. Aku acuh saja. Karena bingung sendiri tidak memberimu uang satu juta.

Tak perlu aku deskripsikan dengan rinci bagaimana lalu lintas Jakarta menjelang senja. Yang kudengar hanya suara klakson bikin pekak telinga dan suara manusia yang terlahir tanpa kesabaran, terus-menerus berteriak, menyumpahserapahi lalu lintas. Kalian norak atau bagaimana sih.

Sampai di rumah hampir pukul delapan malam. Tas ini sungguh membuat punggungku sial. Penasaran, ingin ku lihat apa isinya. Mana tahu sungguhan dapat uang satu juta.

Aku kaget. Ingin memekik, tapi kurasa itu tak perlu. Akhirnya hanya kaget. Dengan mata terbelalak sedikit. Bukan hanya dompet dan handphone yang ada di dalam tas ini, tapi rindu memenuhi seluruh rongga tas ku. Bahkan sampai pada kantong yang terkecil. Sungguh sial lagi. Ternyata yang lucu bukanlah Sule atau Aziz Gagap, melainkan rindu. Berani sekali mereka menyelinap ke dalam tas dan menyamankan diri di setiap sisi. Sial sial lagi, aku tak pandai menyampaikan emosi dan hanya bisa tersenyum. Aku digelitik rindu.

Kau tahu, aku bukan orang yang rajin menulis diari, bahkan catatan kuliahku tak lebih dari sekedar sub judul yang kukutip dari slide presentasi. Ya, hanya sub judul saja. Tapi rindu adalah tangan-tangan yang tak mampu menulisi buku diari dengan cantik sebelum tahu seberapa baik kabarmu hari ini. Maka sekarang kau paham, mengapa aku belum juga rajin menulis diari. Karena rindu ini pun belum selesai dibagi.

Maka kau berhutang padaku, atau aku berhutang padamu, atau siapa berhutang pada siapa, untuk bisa selesaikan rindu ini.

08/08/2015
14.49

Minggu, 15 Februari 2015

Dari Ulfa, Oleh Ulfa, Untuk Ulfa

Musuhmu yang paling nyata bukanlah orang yang membicarakan aibmu. Melainkan rasa malas yang tinggal dalam dirimu.

Halo, Fa. Lumayan lama nggak nulis surat yah. Nggak, aku nggak mau dengar alasan kamu, karena sesungguhnya aku udah tahu. Kalo kamu bilang kamu terlalu sibuk dengan liburan kamu kemarin, lemme say this, you're wrong. Seharusnya di sana bisa lebih banyak inspirasi kamu yang keluar karena kamu ketemu sama orang-orang baru. Kamu bisa tulis surat untuk ibu pedagang nasi liwet, mbak-mbak sate lontong atau bapak-bapak penjual karak. Atau bahkan kamu tulis surat untuk Ammar, yang entah kenapa sekarang jadi pendiem banget.

Aku tau sih, setiap momen liburan itu patut untuk dinikmati, diambil fotonya, dan direkam memorinya. Kita, Fa, seharusnya bisa memaksimalkan momen-momen itu ke dalam tulisan. Aku akui, aku juga berperan dalam sisi kemalasan kamu. Hell yeah, kita nggak mungkin berpisah, Fa. Bahkan untuk sepersekian detik.

Fa, aku minta maaf. Ternyata aku belum cukup kuat untuk menegakkan hasrat menulismu. Atau hasrat-hasrat positif yang lain. Seperti solat di awal waktu, atau membantu Ibu tanpa disuruh terlebih dulu. Aku minta maaf. Ternyata aku belum cukup membantumu menjadi orang superior yang rendah hati. Aku (dan /  atau juga kamu) belum cukup berani untuk berkata lantang pada dunia. Aku minta maaf. Untuk waktumu yang terbuang sia-sia karena kebanyakan tidur atau bermain handphone berlama-lama. Aku bersumpah, aku minta maaf, Fa.

Fa, ala bisa karena biasa. Mari kita saling mengingatkan. Ini semua, dari Ulfa, oleh Ulfa, untuk Ulfa.

Salam cinta yang sedalam-dalamnya cinta,
Dirimu, Ulfa.


#30HariMenulisSuratCinta #2015 #HariKeTujuhBelas

Senin, 02 Februari 2015

Kepada Alfa

Kepada Alfa Yang-Belum-Aku-Pikirkan-Nama-Lengkapnya
((seandainya kamu ada))
di tempat

Hai Alfa, kembaranku.
Gila rasanya ketika aku mulai menuliskan surat ini. Tiba-tiba kamu muncul saat aku sedang mandi. Ini rahasia ya. Aku umur 20 tahun tapi aku sukanya pakai shampo anak bayi. Yang wangi melon. Kalau kamu beneran ada, kamu adalah kawan berbagi shampo itu. Dan pastinya kawan berbagi-kawan berbagi yang lain juga.

Fa, belum ada yang tahu seperti apa wujud fisikmu. Bahkan aku pun. Baiklah, kita akan mempermudah semua ini. Kamu beruntung karena ada belah di dagumu, tapi tunggu, dua lesung pipit ini tetap punyaku. Kamu lebih tinggi dua senti dariku, tapi soal berkendara, aku ada di depanmu. Fa, jika kamar pun kita berbagi, akan ada dua rak buku besar terpisah. Punyaku dan punyamu. Kamu bisa lihat sendiri, novel cupu akan memenuhi separuh dari rak milikku. Dan rak milikmu, Fa, terpenuhi buku-buku filsafat yang sarat dengan ilmu. Aku cinta selera bacaanmu.

Fa, bayangkan jika kamu beneran ada. Siapa yang paling disayang Ibu? Siapa yang paling sering dibeliin roti sama Ayah? Siapa yang paling sering cuci piring dan siapa yang paling rajin beresin tempat tidur? Biarlah, Fa. Kita adalah paling yang paling paling bagi diri kita masing-masing.

Fa, kalau kamu beneran ada, aku ingin kamu jadi orang yang nggak cepat bosan. Karena... aku suka banget cerita yang itu-itu aja. Cerita yang bikin aku sesak di kepala, apalagi di hati. Atau cerita tentang aku yang prokrastinasi mulu. Bilangnya mau tobat. Tapi belum belum juga. Dan aku janji, aku nggak akan cepat bosan dengerin kamu ngomong. Tentang apapun.

Fa, nama kamu ini sama kayak tokoh utama di Gelombang-nya Dewi Lestari. Dia, nama lengkapnya Thomas Alfa Edison. Tapi semenjak pergi ke Amerika, dia menyingkat namanya hanya dengan Alfa Sagala, yang kamu pasti tahu, Sagala adalah nama marga. Aku belum memikirkan nama lengkapmu seperti apa. Kalau mau dipersiskan dengan punyaku, karena mentang-mentang kita anak kembar, jadinya nggak seru. Sumpah. Makanya, seiring berjalannya waktu, semoga aku bisa segera menemukan nama yang cocok untuk bersanding dengan "Alfa". Yang jelas bukan Alfamart. Tenang aja.

Fa, tolong, Fa, tetap tinggal di ruang imajinasiku. Selain Ibu, aku juga butuh kamu untuk menuliskan sesuatu. Janji ya, Fa?

Sekian.

Salam,
Ulfa kembarannya Alfa.

#30HariMenulisSuratCinta #2015 #SuratHariKeEmpat

Minggu, 01 Februari 2015

Mentari

Kepada Mentari,
yang menyinari hati lelaki.

Nggak nyangka ((belom apa-apa udah nggak nyangka)). Kita 20 tahun loh sekarang! Main bareng, sekolah bareng. Dari mulai main petak umpet, congklak, taplak gunung, benteng sampe main hati, rasa-rasanya udah ngerasain bareng ya. Sekarang, elo kuliah di Gizi, gue di Psikologi. Rencananya lo akan lulus duluan karena ambil strata D3. Gue, semoga satu setengah tahun ke depan ini menjadi masa-masa perjuangan yang paling berharga untuk dapet gelar sarjana.

Surat ini beneran gue tulis beberapa saat setelah kita sama temen-temen yang lain ngobrol di chat BBM. Gue akui, untuk hari ketiga di event #30HariMenulisSuratCinta ini gue belom nemu seseorang (atau sesuatu) untuk ditulisi surat. Tapi ternyata lo hadir untuk mengisi kekosongan itu. Dan... voila! This letter is going to you, man :)

Tidak kurang dari dua jam lagi sejak surat ini ditulis, kereta lo berangkat. Ke Malang. Untuk dua bulan, demi memenuhi syarat tugas akhir. Mungkin sebagian dari kita nggak akan terlalu ngeh perihal kepergian, sebelum ada yang pamit dengan sopan. You did it. Invited us on a chatboard just to see you say goodbye. For awhile. Dulu, pas masih SD, kita main sama semuanya. Tapi semakin beranjak dewasa, tinggal kita sisa dua. Yang dulu main bareng, sekarang pada nggak tau kemana, malah lama-lama makin jauh. Justru yang dulunya nggak kenal, sekarang yang ngajak main bareng. Betapa waktu memang bisa mengubah perkawanan tanpa kita minta.

Yang baik ya di Malang. Nggak usah galau terus. Rasanya cepet banget tau-tau lo udah harus magang ke sana. Dua bulan pula! Gue paling banter ninggalin lo cuma dua minggu waktu ke Pare :") Emang sih nggak setiap hari kita ketemu. Karena kita nggak butuh pertemuan yang setiap hari. Yang kita butuh adalah keberadaan yang benar-benar ada. Gue tau lo ada, lo tau gue ada. Sekarang, rasanya beda. Gue di rumah, lo di Malang. Jauh. Haha. Ha ha :( Siapa yang nemenin gue ke Roti Bakar kalo di sini cuma ada Izhar, Apip, Dimas, Cahya, Didit? :( Siapa yang nemenin gue nongkrong di mesjid? :(

Yang baik ya di Malang. Kalo lo kesulitan tentang konseling, jangan sungkan tanya ke Izhar. Atau kalo memang butuh banget, nanti gue kirimin materi mata kuliah Interview gue. Mana tau bisa bantu lo lebih luwes ngadepin pasien. He he he.

Yang baik ya di Malang. Nggak usah takut kesaing sama dokter. Mending lo berdampingan sama dokter yang udah sepuh aja. Bisa disalimin. Dijamin nggak akan neko-neko dan nggak berani nyepelin perempuan kayak lo.

Yang kuat ya. Lo gak punya bendera putih untuk menyerah :)

Salam,
Ulfa yang takut akan perpisahan.

31 Januari 2015
1.53 AM

#30HariMenulisSuratCinta #2015 #SuratHariKetiga

Jumat, 30 Januari 2015

Shepia

Kepada Shepia,
Si Kekasih Gelap

Hei Shepia. Aku tak tau harus memanggilmu dengan sebutan apa. Kakak atau adik atau tante. Tapi... tunggu. Biar aku selesaikan surat ini saja.

She, boleh kan aku menyingkat namamu menjadi She? Biar akrab aja gitu... Ah She, kisahmu unik. Tak ku dengar dari buku dongeng atau kabar burung, melainkan lagu. Jadi She, di antara cowok-cowok itu, yang mana kekasih gelapmu? Yang mana pula kekasih terangmu? Saat aku menulis ini, usiaku tak lebih dari 10 tahun. Belum paham makna kekasih, baik yang terang maupun yang gelap. Yang ku tau, kekasih ya kekasih. Kata kasih yang mendapat imbuhan ke- di depannya. Kau tau, She, nilaiku 90 untuk bahasa Indonesia. He he he.

She, rumahmu di mana? Aku ingin naik sepeda ke rumahmu. Di sini banyak tempat indah untuk didatangi. Terlebih dengan sepeda. Kalau kamu tak ada sepeda, aku rela memboncengmu. Aku kuat. Serius, She. A-ku ku-at. Aku bersedia mengajakmu berkeliling. Sampai bosan. Sampai bodoh. Mana tahu, kita bisa jadi sahabat sejati.

She, sungguh aku tak benar-benar mengerti apa maksud ceritamu dari lagu itu. Suatu hari pernah kutanya pada Ibu, "Bu, Shepia ini nama lengkapnya siapa ya?". Dan jawaban Ibu adalah "Kerjakan PR atau radionya Ibu pindahin ke kamar Ibu?". Aku kaget, ternyata pengetahuan Ibu tentang aku lebih luas dari samudra dan segala isinya. Kamu tau, She, setelah sepeda, radio adalah benda favoritku. Kalau tidak ada radio, aku tak akan mengenalmu. Karena lewat radio lah aku mendengar tentangmu, yang dinyanyikan oleh cowok bersuara merdu. Ultimatum Ibu cukup membuatku mengkerut. Kumatikan radio, kukerjakan PR. Terkadang, hidup memang semudah menjalankan perintah Ibu.

She, kamu pernah dengar tentang Cinderella? Yang hidupnya berubah menjadi ajaib setelah mendapatkan sepatu kaca. Atau.. hm... Malin Kundang? Yang dikutuk menjadi batu karena durhaka pada Ibunya. She, kamu tak ubahnya seperti mereka! Kamu hebat! Kamu idola! Dalam kepalaku, tumbuh tanda tanya sebesar pohon kelapa setelah mendengar kisahmu. Kekasih gelap, malam ini ku takkan datang, kisah kita takkan abadi. Dengar She, aku hafal kisahmu yang tertuang dalam lagu itu. Meskipun ya, aku harus mengakui berkali-kali, aku kurang memahaminya. Baiklah, She, umurku tak lebih dari 10 tahun dan aku tak mengerti kenapa kamu harus jadi kekasih gelap sementara lampu dijual bebas di mana-mana. Dan listrik, ada di mana-mana. Kenapa, She?

She, aku memang anak kecil. Tapi aku tau, kisahmu bukan tentang berbahagia. Demi kekasih gelap, aku turut bersedih. Semoga ratapan anak ingusan ini bisa menghiburmu. Kalau kamu berniat membalas surat ini, tolong cantumkan alamat rumahmu selengkap-lengkapnya. Janjiku memboncengimu berkeliling tak akan pernah aku lupa. Kau tau, untuk urusan janji, terkadang anak kecil bisa lebih diandalkan ketimbang orang dewasa.

Sekali lagi, demi kekasih gelap, aku ingin menghiburmu, She.

Salam,
aku yang lupa mencantumkan nama.


#30HariMenulisSuratCinta #2015 #SuratHariKedua

Kamis, 29 Januari 2015

Mama yang Baik

Kepada,
Mama yang baik.

Nggak butuh sebuah atau seribu alasan untuk menjatuhkan surat pertama ini buat kamu, Ma. Aku pun jadi anak pertama dalam hidupmu. Tanpa kamu punya alasan untuk menjadikan aku yang kedua, ketiga atau seterusnya.

Mama yang baik, hasil tes MBTI mengatakan aku adalah seorang ISFP. I untuk Introvert, S untuk Sensing, F untuk Feeling, dan P untuk Perceiving. Bukan, aku bukan sedang membuka mata kuliah Psikologi Kepribadian. Atau sedang berperan sebagai dukun jadi-jadian. Bukan, pokoknya bukan. Aku, seorang introvert, Ma. Yang secara mudah aku pahami sebagai orang yang lebih fokus pada dirinya sendiri. Cenderung lebih menyukai melakukan hal apapun sendirian. Ekstrimnya, bisa mati mendadak jika berlama-lama dalam suatu keramaian orang-orang yang tidak dikenalnya. Tidak banyak bicara, bisa jadi ia banyak menulis. Kamu tau, Ma, aku jarang bilang I Love You. Tapi bukan berarti aku lebih sering nulis I Love You. Aku yakin, kamu nggak butuh itu. Yang kamu butuh adalah aku yang berproses menjadi semakin baik. Persis dengan doa-doamu tiap selepas ibadah, kan? Semoga, Ma, aku tidak menjadi sia-sia seiring dengan harapan yang diam-diam kamu pendam. Semoga, Ma, aku mampu menobatkan cita-citamu sebagai cita-citaku juga.

Mama yang baik, seorang bijak pernah berkata "If a writer falls in love with you, you can never die". Aku memang bukan seorang penulis ((semoga bukan yang dimaksud adalah belum)), tak mungkin juga manusia tidak akan mati. Tapi tulisan-tulisan itu lah yang membuatnya abadi. Kamu, Ma, akan abadi. Di sini, di samping aku, dalam tulisan aku. Aku, seorang introvert, Ma. Yang nggak berani marah di depan kamu. Yang nggak berani bilang sayang langsung ke kamu. Aku merasa kata-kata yang dituliskan bisa lebih manusiawi ketimbang kata-kata yang diucapkan. Aku merasa memendam perasaan bisa jadi lebih menyenangkan. Meskipun akan berakhir menyesakkan. Terlepas dari itu semua, aku menyukai seni ini. Aku menyukai seni di balik layar.

Mama yang baik, anggap saja nasihat anak kepada orang tua bukanlah sebuah kekurangajaran. Tapi halusinasiku bilang, kamu butuh ini, sesuatu yang aku sebut nasihat. Kamu, Ma, nggak pantas untuk takut kehabisan orang-orang yang akan kamu terapkan kebaikan kepada mereka. Jika satu orang pergi, masih ada berjuta-juta populasi manusia di bumi ini. Jika satu pintu tertutup, berbaliklah, pintu lain masih terbuka. Kebaikan nggak akan pernah habis, Ma. Bahkan ketika yang kamu lakukan adalah kebaikan yang itu-itu saja. Yang Tuhan catat sebagai kebaikan yang unggulan. Nggak perlu takut ya, Ma.

Mama yang baik, mungkin aku jarang kangen kamu. Karena ketiak kamu nggak pernah lepas dari mata aku. Aku bukan anak rantau. Aku, anak Mama. Kalo kamu yang kangen aku, tapi aku nggak bisa dihubungin karena hapenya nyemplung ke laut ((misalnya)), silakan buka blog aku yang menceritakan tentang kamu. Kamu, selalu ada.

Ma, selain terimakasih sama kamu, aku juga mau terimakasih sama kakak-kakak yang udah ngadain event #30harimenulissuratcinta ini. Bikin aku sadar, aku harus lebih banyak nulis tentang kamu, dan nggak tentang dia melulu. Terimakasih! Salimku selalu mengarah padamu.

Udah ya, Ma. Kamu selalu hadir dalam setiap doa.

Salam,
Dari aku yang mengaku introvert.


#30HariMenulisSuratCinta #2015 #SuratHariPertama

Kamis, 22 Januari 2015

Sederhana Saja


Saat aku menulis ini, jam dinding di kamar mengarahkan jarum panjangnya hampir ke angka tiga, dan jarum pendeknya di angka tujuh. Hujan belum juga mau berhenti. Air-air itu rasanya seperti sudah dua tahun tak mampir ke bumi. Barangkali ia rindu. Tak diberi ruang sedikit pun kepada matahari untuk sekedar menyampirkan cahayanya di jemuran milik Ibu.

Kau, bagaimana? Jika belum juga kembali ke rumah, bisa aku pastikan kita merasakan hal yang sama. Sama-sama hujan sepanjang hari.  Suhu udara sedikit merendah. Dan kalau kau adalah seorang pemerhati, akan kau temukan beberapa tweet senada dari beberapa orang berbeda. Misalnya, “Duh ((sebut nama kota yang biasanya udaranya tidak dingin)) pagi-pagi gini, berasa di Puncak”. Apa? Nyatanya kau tidak pernah menyadari hal itu? Dua hal yang dapat aku simpulkan adalah, pertama, kau jarang mengecek timeline Twitter-mu, kedua, kau memang bukan pemerhati. Tapi instingku berkata, kau adalah yang kedua. Apa? Aku salah? Coba lihat dirimu.

Liburan baru berjalan dua hari. Apa aku salah ingat? Tidak tahu lah. Mendadak aku hanya mengenal hari libur, lupa sesaat akan Senin, Selasa, Rabu, sampai Minggu. Film dan buku menjadi sahabat sejati bagai selimut di kala dingin. Rasanya aku bisa menghitung kapan pantatku tidak menempel dengan kasur. Dan jawabannya bisa aku pastikan tidak lebih dari sepuluh jari.

Kau tahu, ada beberapa orang yang ditakdirkan untuk tidak banyak bicara. Mereka nyaman dengan itu. Bahkan merasa lebih aman. Aku, bisa jadi salah satunya. Film dan buku yang lebih banyak mengambil alih percakapan dalam kepalaku. Dan sesekali, kamu.

Yang ingin aku sampaikan setelah ini bukanlah lelucon. Bukan pula sesuatu yang sudah aku buktikan. Tapi aku berpikir, bahwa yang diam itu tidak selalu berakhir dengan kecepirit (ups maaf), bisa jadi dia diam-diam rindu. Dan aku mengkhianati judul pada tulisan ini, bahwa rindu tidak sesederhana itu. Iya, itu.

Terimakasih, Tuhan. Telah menciptakan hujan dengan komposisi dan intensitas yang pas.

Source: Google

Minggu, 18 Januari 2015

Review Semester 5

Halo. Halo selamat pagi, siang, sore, malam! Menurut survey kecil-kecilan yang gue lakukan selama kurang lebih 2 menit, semester 5 ini adalah semester paling semrawut yang pernah gue alami selama 2,5 tahun kuliah. Iya, kocar kacir banget ngejalaninnya. Dimulai dari kuota tiap kelas yang tiba-tiba berkurang karena adanya kebijakan baru -awalnya satu kelas bisa isi sekitar 40 mahasiswa, tapi sekarang cuma bisa 25, maksimal 30, itupun dengan syarat harus pergi ke akademik dulu untuk minta tambah kursi-. Angkatan gue yang dari lahir cuma ada 4 kelas, mulai semester 5, jadi ada 6 kelas. Lumayan kzl ya. Pas lagi liburan semester 4 gue nyantai-nyantai isi KRS entaran aja. Eh giliran mau isi malah kalang kabut karena keabisan kursi.

Kuliah hari Senin pertama di semester 5 kemarin gue awali dengan muka penuh tanda tanya pas masuk kelas. "Kok ini banyak orang baru -yang bukan angkatan gue dan bukan senior juga- dah?". Oalah, akhirnya gue paham, banyak junior yang "dewasa sebelum waktunya". Pantesan temen-temen banyak yang "ketendang" ke kelas lain. Ternyata mereka lebih gesit isi KRS dibanding kita. Baiklah~

Jauh sebelum semester 5 ini dimulai, gue udah denger kabar burung dari senior tentang kejahatan periode waktu bernama "Semester 5" ini.

*di tempat fotocopy*
senior 1 (cewek): "aduh, Fa, nanti rasain ya semester 5 yang tugasnya banyak banget. Berat badan aku aja sampe turun. Nih jadi makin kurus"
senior 2 (cewek): "Iya. Aku ngerjain tugasnya sampe mau nangis"
((ngerjain tugas atau lagi stalking IG-nya mantan yang udah punya pacar baru, mb?))

*di lobi kampus*
senior 3 (cowok): "waktu gue semester 5 sih kuliah PIO 2-nya hari Sabtu"
*kemudian petir menyambar dari segala penjuru dunia*
Anxietas bertambah ketika denger ada kuliah hari Sabtu. Tapi untungnya pas jaman gue semester 5 kuliah PIO 2-nya hari Jum'at. Puji Syukur kehadirat Allah swt.

Terlepas dari opini-opini tersebut, gue memang harus menjalani ini semua. Mau tugasnya banyak kek, mau ngerjain tugasnya sampe nangis-nangis kek, nobody cares. Gue, elo, kita, pasti melewati masa-masa kayak gini.

Lanjut.. beberapa minggu pertama, semester 5 ini masih berjalan dengan baik. Bersahabat, mengalir dengan santai. Tapi saat-saat mendekati UTS, semuanya berubah. Mulai dari tugas UTS yang dikerjain secara kelompok, take home tapi nggak boleh nyontek sama sekali, sampe UTS yang dilakukan dua minggu sebelum UAS. Tuhan, salah kami apa? :(

Gue akui, semester 5  ini emang padet banget. Bahkan mikirin untuk pergi jalan-jalan di tengah kejaran tugas pun rasanya gak sanggup. Hilang daya, raib upaya. Semester-semester sebelumnya masih sempet lah nyolong hari Sabtu buat pergi ke Puncak sama temen-temen. Tapi hal itu nggak terjadi di semester ini.  Semakin mendekati weekend, ngerjain tugas makin ditunda. Semakin mendekati hari Senin, pikiran ini semakin ditekan untuk terus kerja.

UTS berlalu, itu artinya beberapa minggu setelahnya akan ada UAS. Beberapa mata kuliah nggak ngadain UAS tertulis, bahkan ada yang nggak UAS sama sekali. Tapi, tunggu, jangan senang dulu. Gue jadi mempercayai satu hal, seiring perkembangan zaman, UAS mengalami perluasan makna. Berikut jenis-jenisnya yang udah gue alami selama semester 5:
1. Tugas makalah yang dirancang sendiri mulai dari judul sampai daftar pustaka, mengaitkan fenomena psikologi dengan Islam adalah UAS.
2. Analisis film yang bertema Psikologi adalah tugas pengantar UAS ((oh Man, mau UAS aja harus ada yang nganterin))
3. Melakukan eksperimen dan menyusun laporan layaknya skripsi adalah UAS (juga).
4. UAS tertulis tapi seminggu sebelumnya udah dikasih tau soal-soalnya adalah UAS (juga).

Gue hilang nafsu makan waktu ngerjain  yang poin pertama. Tak lain dan tak bukan adalah mata kuliah Islam dan Psikologi dengan dosen pengampu Pak Abdul Mujib yang juga menjabat sebagai dekan. Pak, we love you! Maafkan kalo tugas saya agak-agak melipir bahkan menyimpang dari yang seharusnya. Saya ngerjainnya di mekdi sih :( dua hari sebelum deadline yang ditentukan :( tapi finishing segalanya baru dilakukan 2 jam sebelum tugas itu dikumpulin :(

Oke, oke, semua UAS terlewati. Dan dengan ini semester 5 kita akhiri. Gue sama temen-temen udah sempet liburan ke Pulai Pari... but wait! Masih ada satu ganjalan sebesar batu berlian yang nyatanya masih jadi hutang. Yaitu adalah tugas Psikometri! Analisis item pake ITEMAN dan QUEST. Kenapa tugas ini masih ada? Karena kebetulan kelas gue baru banget dapet materi tentang dua aplikasi tersebut di akhir-akhir perkuliahan, yang mana para mahasiswanya meminta tangguhan waktu pengumpulan tugas tersebut dan deadline sudah ditentukan yaitu satu minggu setelah UAS Psikometri.

Selain tugas yang emang banyak dan numpuk, banyak hal lain yang gue lewati selama semester ini. Event yang paling ngeheits menurut gue sih PEMIRA (Pemilu Raya), yaitu ajang demokrasi mahasiswa untuk memilih Ketua BEM -sekarang di kampus gue disebut DEMA (Dewan Mahasiswa). Kebetulan semester ini gue ikut terjun langsung selama prosesnya karena temen gue maju sebagai calon dari independen. Gue dan temen-temen lain bergerak sebagai tim suksesnya. Sayangnya, ternyata kita gak sukses untuk maju sebagai "pengayom" mahasiswa. Tapi gak papa, kita kalah terhormat. Selama PEMIRA, gue jadi tahu, mana yang temen, mana yang temen banget. Ada dua tipe orang yang muncul saat event semacam ini sedang berlangsung, pertama, yang awalnya gak kenal tapi pas PEMIRA jadi sok-sokan nyapa, kedua, yang awalnya kenal eh pas PEMIRA malah kayak gak pernah ketemu. That's all. Gue gak becanda.

Oh ya, kegiatan yang baru gue ikuti di semester 5 ini adalah..... SAMAN! Ciyeee anak saman. Semester 5 ini nggak ada tampil sih, baru latihan aja. Tapi direncakan wisuda akhir Februari nanti menjadi debut pertama gue! Hakhakhak :D

Gue juga ketemu temen-temen baru dari angkatan 2014. Ada Anggi, Gio, Salsa, Ibnu, Taufan, Aji, Hadi, Iko. Adik yang lucu-lucu :))

Selain masalah perkampusan dan persosialitaan, urusan hati masih juga rasa-rasa agak pelik. Gak tau. Pelik aja. Bego aja. Tapi gimana. Hati kan gitu. Sukanya bandel. Yauda sih.

Berikut ada beberapa momen yang bisa terekam dengan kamera, sedikit sih, karena selebihnya terekam di pikiran:

Bareng anak-anak dari Sekolah Khusus Muara Sejahtera. Waktu itu, gue sekelompok sama Restu dan Mia lagi ada tugas Psikodiagnostik Observasi untuk bikin video. Karena kita ambil bidang Pendidikan, maka temen-temen di sini yang kita ambil sebagai objek observasi. Terimakasih untuk pertemuan singkatnya :)


Muka-kocar-kacir-moment


25112014. Ini selepas teater mini yang merupakan rangkaian acara dari kampanye terbuka Bakal Calon Ketua dan Wakil Ketua DEMA-F Psikologi nomor urut 2, Damas-Morita. Pas lagi teateran, tau-tau hujan deras. Tapi pas selesai hujannya juga selesai. Berkah, berkah, berkah! :D

14012015. Liburan sesi pertama ((emang bakalan ada sesi selanjutnya, huh?)). Pulai Pari is in your hand!


15012015. Syukuran kelas di rumah Faris. Meskipun sebenarnya anggota Ruang108  itu ada 35 mahasiswa, tapi gak papa yang dateng syukuran cuma segini. Semoga maksud dan tujuan kita tidak berkurang sedikit pun :")

Aku sister olshop, Abduh brother olshop-nya. Kita sama-sama tahu gimana rasanya dapet customer yang pengertian banget, atau customer yang errrr banget. We're really hard-worker. Masih meragukan kami?


Tersenyumlah. Sebelum senyum kuda jauh lebih manis dibanding senyum kita :))