Jika kamu ingin jadi penyangkal yang handal, bergurulah pada Sigmund Freud.
Kamu tak pernah berkata iya, maupun tidak. Kamu ada di antara spasi kata-kata
yang setiap hari aku baca. Kamu tak ubahnya jeda yang membuatku menunggu barang
tigabelas detik untuk mendapat balasan chat-mu. Kamu pergi ke toilet sebentar,
tapi aku dibiarkan menunggu berjam-jam sampai senja berganti warna. Kamu terkunci?
Atau dengan sengaja mencari jalan keluar untuk lari dan meninggalkanku sampai
lupa diri?
Pada pertemuan yang entah ke-berapa, kamu bilang telah mendapat ilmu dari Freud.
Aku percaya saja. Tak pusing-pusing memikirkan bagaimana caramu mencoba bertemu
dengannya. Bahkan aku tak berpikir bahwa kamu bohong tentangnya. Kamu mendapat
ilmu bagaimana cara menyangkal hal-hal yang tak menyenangkanmu, termasuk
menyangkal aku. Kamu bilang begitu. Tapi aku yakin, Freud tak akan sejahat
kata-katamu. Maka saat itu pula, aku percaya kamu membual.
Kamu ingat ibumu? Apa yang terjadi seandainya kamu membohongi ibumu untuk sesuatu
yang amat berharga baginya? Tak perlu kamu rasai, cukup bayangkan saja.
Semakin ke sini, kamu semakin tak terdefinisikan. Aku tak tahu lagi apa
artinya kamu karena kamu yang semakin tak memaknaiku. Aku mencari diriku dalam
pikiranmu, tapi nihil. Kau lihat, bahkan aku lupa di mana aku meletakkan diriku
sendiri. Aku tak hanya tersesat di pikiranmu, di pikiranku.
Aku lupa pola kehidupan ini. Tapi aku tak melupakanmu. Long term memory-ku
seakan tak ingin mengenyahkamu. Pun kamu berdiam di sana dengan gagahnya.
16112013
13.29