Tik tik tik.. Pelan tapi pasti. Rintik hujan semakin banyak jatuh ke bumi.
Semakin lama, semakin menderas. Bau tanah mulai merebak. Menusuk hidung yang
mampet karena flu. Ah kurang nikmat. Mungkin hujan harus datang lain waktu
ketika penyakit ini sudah terangkat. Agar bau tanahnya bebas berlarian di dalam
hidungku.
Pulang sekolah. Aku berteduh di sebuah halte.
Musim hujan memang sedikit menjadi masalah jika bepergian dengan motor tanpa
membawa jas hujan. Halte semakin ramai dipenuhi orang yang bernasib sama
denganku. Mulai dari wanita yang kutaksir dia adalah SPG salah satu mall di
dekat halte. Beberapa orang yang mungkin baru pulang dari kantor, beberapa anak
sekolah, serta seorang pengemis tua yang memakai tongkat dengan baju lusuhnya,
terlihat kedinginan. Hujan selalu mengingatkanku akan sesuatu. Mengingatkan
akan kamu. Pikiranku melayang sejauh mungkin. Mencari tempat yang lebih luas
dari halte yang sesak ini. Hanya untuk menyelami arti hujan kali ini. Karena
aku percaya, Tuhan punya maksud berbeda pada setiap apa-apa yang telah Ia
turunkan.
Tiba-tiba aku teringat percakapan bersama ibu,
pada suatu malam di ruang tamu, pun saat hujan juga.
“Bu, kenapa Tuhan ciptakan cinta di dunia?”
“Jika tidak ada cinta, tak akan ada segumpal
daging yang tinggal di rahimku kurang lebih 9 bulan 10 hari. Yang kemudian
lahir sebagai seorang wanita yang mempunyai mata seterang cahaya.” Kata ibu
sambil tersenyum menatapku.
“Ah ibu bisa saja. Mataku adalah hal paling
biasa yang pernah aku lihat. Di cermin tentunya.” Aku tertawa sambil mengatakan
itu.
“Tapi bu, kenapa pula Tuhan ciptakan sakit
diantara cinta yang terjadi?”
“Nak, di bumi ini, tak mungkin hujan turun
terus menerus. Atau kemarau melanda tak ada habisnya. Kalau begitu, manusia
bisa mati dengan mudah. Tuhan ciptakan keseimbangan diantara keduanya. Agar
manusia bisa mengambil pelajaran dari setiap yang Tuhan berikan. Sama halnya
dengan cinta. Mencintai terus menerus akan membuat dirimu kalah dan mati
perlahan. Oleh karena itu, terkadang kamu harus berhenti mencintai. Yang bagi
sebagian orang diartikan sebagai menyakiti.”
“Bagaimana jika... mencintai terlalu dalam?”
“Begini, seharusnya kamu tahu bahwa hal yang
berlebihan tentulah tidak baik. Termasuk dalam mencintai. Dunia ini fana. Pun
cinta di dalamnya. Jika yang kamu cintai itu hilang, apakah mudah mengobati
sakit hati dari cinta yang teramat dalam? Cinta yang baik bukanlah mencintai
sepenuh hati, Sayang, tapi mencintai dengan sederhana. Sesederhana ketika ibu
membuatkan kopi untuk ayah. Atau ketika kakek-nenek tertawa di serambi rumah
karena mengingat kisah mereka semasa muda. Gigi mereka ompong dan tulang mereka
rapuh. Tapi mereka saling mencintai.” Ibu mengakhiri kalimatnya yang panjang
itu sambil mengelus rambutku. Lembut sekali.
Pikiranku kembali ke halte dan orang-orang
yang berteduh di dalamnya. Sudah sekitar
satu jam dan hujan belum menunjukkan tanda-tanda untuk berhenti. Jalanan mulai
digenangi air keruh kira-kira sebatas mata kaki. Cipratan dari kendaraan yang
lewat semakin tinggi mengenai kami yang sudah berusaha menghindar.
Percakapan bersama ibu yang sempat memutar di
otakku kembali aku renungkan. Mungkin memang seharusnya aku tidak mencintai
sepenuh hati. Tapi mencintai dengan sederhana, apa adanya. Semampu yang aku
bisa. Atau bahkan aku harus berhenti mencintai sejenak. Untuk menciptakan
keseimbangan yang sempat tak terpikirkan.