Selasa, 03 April 2012

Hujan dan Percakapan Kala itu

Tik tik tik.. Pelan tapi pasti. Rintik hujan semakin banyak jatuh ke bumi. Semakin lama, semakin menderas. Bau tanah mulai merebak. Menusuk hidung yang mampet karena flu. Ah kurang nikmat. Mungkin hujan harus datang lain waktu ketika penyakit ini sudah terangkat. Agar bau tanahnya bebas berlarian di dalam hidungku.

Pulang sekolah. Aku berteduh di sebuah halte. Musim hujan memang sedikit menjadi masalah jika bepergian dengan motor tanpa membawa jas hujan. Halte semakin ramai dipenuhi orang yang bernasib sama denganku. Mulai dari wanita yang kutaksir dia adalah SPG salah satu mall di dekat halte. Beberapa orang yang mungkin baru pulang dari kantor, beberapa anak sekolah, serta seorang pengemis tua yang memakai tongkat dengan baju lusuhnya, terlihat kedinginan. Hujan selalu mengingatkanku akan sesuatu. Mengingatkan akan kamu. Pikiranku melayang sejauh mungkin. Mencari tempat yang lebih luas dari halte yang sesak ini. Hanya untuk menyelami arti hujan kali ini. Karena aku percaya, Tuhan punya maksud berbeda pada setiap apa-apa yang telah Ia turunkan.

Tiba-tiba aku teringat percakapan bersama ibu, pada suatu malam di ruang tamu, pun saat hujan juga.

“Bu, kenapa Tuhan ciptakan cinta di dunia?”

“Jika tidak ada cinta, tak akan ada segumpal daging yang tinggal di rahimku kurang lebih 9 bulan 10 hari. Yang kemudian lahir sebagai seorang wanita yang mempunyai mata seterang cahaya.” Kata ibu sambil tersenyum menatapku.

“Ah ibu bisa saja. Mataku adalah hal paling biasa yang pernah aku lihat. Di cermin tentunya.” Aku tertawa sambil mengatakan itu.

“Tapi bu, kenapa pula Tuhan ciptakan sakit diantara cinta yang terjadi?”

“Nak, di bumi ini, tak mungkin hujan turun terus menerus. Atau kemarau melanda tak ada habisnya. Kalau begitu, manusia bisa mati dengan mudah. Tuhan ciptakan keseimbangan diantara keduanya. Agar manusia bisa mengambil pelajaran dari setiap yang Tuhan berikan. Sama halnya dengan cinta. Mencintai terus menerus akan membuat dirimu kalah dan mati perlahan. Oleh karena itu, terkadang kamu harus berhenti mencintai. Yang bagi sebagian orang diartikan sebagai menyakiti.”

“Bagaimana jika... mencintai terlalu dalam?”

“Begini, seharusnya kamu tahu bahwa hal yang berlebihan tentulah tidak baik. Termasuk dalam mencintai. Dunia ini fana. Pun cinta di dalamnya. Jika yang kamu cintai itu hilang, apakah mudah mengobati sakit hati dari cinta yang teramat dalam? Cinta yang baik bukanlah mencintai sepenuh hati, Sayang, tapi mencintai dengan sederhana. Sesederhana ketika ibu membuatkan kopi untuk ayah. Atau ketika kakek-nenek tertawa di serambi rumah karena mengingat kisah mereka semasa muda. Gigi mereka ompong dan tulang mereka rapuh. Tapi mereka saling mencintai.” Ibu mengakhiri kalimatnya yang panjang itu sambil mengelus rambutku. Lembut sekali.

Pikiranku kembali ke halte dan orang-orang yang berteduh di dalamnya.  Sudah sekitar satu jam dan hujan belum menunjukkan tanda-tanda untuk berhenti. Jalanan mulai digenangi air keruh kira-kira sebatas mata kaki. Cipratan dari kendaraan yang lewat semakin tinggi mengenai kami yang sudah berusaha menghindar.

Percakapan bersama ibu yang sempat memutar di otakku kembali aku renungkan. Mungkin memang seharusnya aku tidak mencintai sepenuh hati. Tapi mencintai dengan sederhana, apa adanya. Semampu yang aku bisa. Atau bahkan aku harus berhenti mencintai sejenak. Untuk menciptakan keseimbangan yang sempat tak terpikirkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar