Tak pantas rasanya ketika aku menyapa-Mu dengan apa kabar karena Engkau adalah Yang Maha Sebaik-Baiknya Keadaan. Tuhan, sejenak aku ingin berbincang dengan-Mu. Betapa egois ketika barusan aku bilang sejenak. Padahal sejatinya manusia selalu butuh waktu untuk berbincang dengan Tuhannya, termasuk aku.
Tuhan, sudah hampir seminggu ini aku merasa kacau. Tak enak makan, tak enak tidur. Ini tidak seperti rumah yang biasanya. Ah Tuhan, apa yang sesungguhnya tidak baik di sini? Betapa masalah kecil memang bisa mengubah semuanya. Menjadi baik, atau bahkan buruk. Dan diam adalah satu-satunya jalan keluar yang bisa aku lakukan. Terkadang aku benci semua hal yang ada di luar diriku. Tidak, tidak. Bukan benci. Lebih tepatnya adalah aku tak tahu harus bersikap bagaimana terhadap mereka, terhadap semua hal yang berasal dari luar diriku. Alhasil, hari-hari berlalu untuk memecahkan teka-teki itu. Teka-teki yang aku buat sendiri. Yang sialnya jawabannya tidak ada di buku lelucon zaman SD-ku dulu.
Tuhan, Yang Maha Sebaik-Baiknya Keadaan, kali ini aku meminta (bahkan memaksa) untuk Engkau mengembalikan semuanya seperti semula. Baik baik saja. Tak tahan aku dibuatnya. Aku tak siap untuk penolakan-penolakan yang datang. Aku tak tahu kenapa aku sebut itu sebagai penolakan padahal sesungguhnya aku diterima-diterima saja di sini. Tapi apa dayaku, Tuhan, masa lalu saja sudah seharusnya dimaafkan. Apalagi aku? Kau setuju denganku kan, Tuhan?
Tuhan, Kau pasti lebih dari tahu bahwa aku ini makhluk yang bermain peran dengan perasaan. Aku wanita. Setidakpeduli apapun aku dengan orang lain, tapi perasaan ini sedikit banyak ikut mengambil alih. Mengambil bagian dari setiap tindakan. Kau juga pasti lebih dari tahu bahwa menangis dua jam tanpa henti akan berakibat fatal bagi wajah dan hati.
Tuhan, aku ingin marah. Tapi ini jadi rahasia kita saja. Tak perlu disebarluaskan di Social Media. Aku marah pada keadaan, Tuhan. Keadaan itu siapa? Keadaan itu apa?
Tuhan, Yang Maha Sebaik-Baiknya Keadaan, maafkan aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar