Aku punya sebuah piring, Kawan. Piring yang sangat indah. Melebihi
piring-piring yang dimiliki Ibu kalian. Bahkan piring-piring yang dijual oleh
tukang perabotan keliling yang menggunakan mobil pick up. Piring itu istimewa. Hadiah
dari seorang saudara jauh saat usiaku 13 tahun, hasil dari ia berlibur ke India
selama 2 minggu. Pasti banyak yang menarik di sana sampai saudara jauhku itu
rela mendatanginya untuk menghilangkan penat selama ia bekerja di kota.
Persetan dengan saudara jauhku. Aku tak ingin
membicarakannya lebih lanjut. Kembali ke piring itu, piring yang aku jaga
baik-baik. Tidak pernah aku gunakan sebagai alas makan, bahkan tempat untuk
nyeruput kopi. Aku simpan rapi di kamarku. Tentu saja, kalian tak boleh tahu di
mana letaknya. Bahkan orang tuaku sekalipun tidak tahu. Hanya aku, dan Tuhan.
Piring itu memang tak sempurna, tapi aku tegaskan sekali
lagi, piring itu istimewa. Bagiku. Di atas piring itu, aku letakkan kepercayaan
orang-orang, terlebih kepercayaan ayah ibuku. Kadang-kadang, piring itu aku
bawa tidur bersamaku. Tak jarang aku bermimpi, piring itu menjadi sesuatu yang
hidup. sesuatu yang bisa memenuhi kebutuhanku. Termasuk kebutuhan kepercayaan-kepercayaan
yang aku letakkan di atasnya. Suatu ketika, di hari yang panas teriknya
menyengat sampai ke darah daging, aku rebahan di lantai kamar, sambil menimang
piring itu. Entah apa yang ada di pikiranku. Seandainya waktu bisa diulang
kembali, aku tak akan mengambil piring itu dari tempatnya, terkecuali ketika
kematian sudah sampai di pangkal lututku. Sebelum semuanya terjadi, aku melihat
cicak di langit-langit kamarku. Jika dia terjatuh, maka akan mendarat dengan
mulus di dahiku. Piring itu, aku letakkan di samping siku kananku. Sampai semesta
menjawab semuanya. Aku terkaget-kaget karena (benar saja) tiba-tiba cicak itu
jatuh tepat di dahiku. Berkecamuk perasaanku. Lantas aku terburu-buru bangun
dan dengan tanpa sengaja piring itu tertekan oleh sikuku sampai retak. Sampai sakit
pula siku ini. Sampai aku merasa seperti ada yang mengaliri sebagian tubuhku
yang masih terduduk di lantai. Kalian tahu apa itu? Ya, benar. Kepercayaan orang-orang.
Termasuk kepercayaan ayah ibuku. Tumpah berceceran di lantai. Tak hanya retak,
piringnya terbelah menjadi tiga bagian yang hampir sama besar. Tak kuasa, ingin
menangis rasanya. Ingin meronta-ronta (bahkan memaksa) pada Tuhan untuk bisa
memutar waktu barang dua menit saja.
Memang, sesuatu yang rusak, meskipun diperbaiki, tidak akan
bisa kembali seperti sedia kala. Termasuk piring itu, tempat di mana aku
meletakkan kepercayaan orang-orang, terlebih kepercayaan ayah ibuku. Tapi tangisan
bahkan penyesalan pun tidak mampu membuatnya rekat kembali. Setelahnya, aku
mengambil piring yang lain dari dapur ibuku. Aku pinjam untuk meletakkan
kepercayaan orang-orang yang masih bisa aku selamatkan. Termasuk kepercayaan
ayah ibuku. Diriku sendiri, dan diri kita semua, seperti sebuah masa lalu. Tidak
perlu disalahkan. Hanya perlu dimaafkan.
:*
BalasHapus