Sabtu, 05 Juli 2014

Sebuah Piring

Aku punya sebuah piring, Kawan. Piring yang sangat indah. Melebihi piring-piring yang dimiliki Ibu kalian. Bahkan piring-piring yang dijual oleh tukang perabotan keliling yang menggunakan mobil pick up. Piring itu istimewa. Hadiah dari seorang saudara jauh saat usiaku 13 tahun, hasil dari ia berlibur ke India selama 2 minggu. Pasti banyak yang menarik di sana sampai saudara jauhku itu rela mendatanginya untuk menghilangkan penat selama ia bekerja di kota.

Persetan dengan saudara jauhku. Aku tak ingin membicarakannya lebih lanjut. Kembali ke piring itu, piring yang aku jaga baik-baik. Tidak pernah aku gunakan sebagai alas makan, bahkan tempat untuk nyeruput kopi. Aku simpan rapi di kamarku. Tentu saja, kalian tak boleh tahu di mana letaknya. Bahkan orang tuaku sekalipun tidak tahu. Hanya aku, dan Tuhan.

Piring itu memang tak sempurna, tapi aku tegaskan sekali lagi, piring itu istimewa. Bagiku. Di atas piring itu, aku letakkan kepercayaan orang-orang, terlebih kepercayaan ayah ibuku. Kadang-kadang, piring itu aku bawa tidur bersamaku. Tak jarang aku bermimpi, piring itu menjadi sesuatu yang hidup. sesuatu yang bisa memenuhi kebutuhanku. Termasuk kebutuhan kepercayaan-kepercayaan yang aku letakkan di atasnya. Suatu ketika, di hari yang panas teriknya menyengat sampai ke darah daging, aku rebahan di lantai kamar, sambil menimang piring itu. Entah apa yang ada di pikiranku. Seandainya waktu bisa diulang kembali, aku tak akan mengambil piring itu dari tempatnya, terkecuali ketika kematian sudah sampai di pangkal lututku. Sebelum semuanya terjadi, aku melihat cicak di langit-langit kamarku. Jika dia terjatuh, maka akan mendarat dengan mulus di dahiku. Piring itu, aku letakkan di samping siku kananku. Sampai semesta menjawab semuanya. Aku terkaget-kaget karena (benar saja) tiba-tiba cicak itu jatuh tepat di dahiku. Berkecamuk perasaanku. Lantas aku terburu-buru bangun dan dengan tanpa sengaja piring itu tertekan oleh sikuku sampai retak. Sampai sakit pula siku ini. Sampai aku merasa seperti ada yang mengaliri sebagian tubuhku yang masih terduduk di lantai. Kalian tahu apa itu? Ya, benar. Kepercayaan orang-orang. Termasuk kepercayaan ayah ibuku. Tumpah berceceran di lantai. Tak hanya retak, piringnya terbelah menjadi tiga bagian yang hampir sama besar. Tak kuasa, ingin menangis rasanya. Ingin meronta-ronta (bahkan memaksa) pada Tuhan untuk bisa memutar waktu barang dua menit saja.

Memang, sesuatu yang rusak, meskipun diperbaiki, tidak akan bisa kembali seperti sedia kala. Termasuk piring itu, tempat di mana aku meletakkan kepercayaan orang-orang, terlebih kepercayaan ayah ibuku. Tapi tangisan bahkan penyesalan pun tidak mampu membuatnya rekat kembali. Setelahnya, aku mengambil piring yang lain dari dapur ibuku. Aku pinjam untuk meletakkan kepercayaan orang-orang yang masih bisa aku selamatkan. Termasuk kepercayaan ayah ibuku. Diriku sendiri, dan diri kita semua, seperti sebuah masa lalu. Tidak perlu disalahkan. Hanya perlu dimaafkan.

1 komentar: