Pagi tadi, aku dibangunkan mimpi. Serela itu ia mengakhiri
dirinya sendiri. Karena dia tahu, aku selalu menanti terbitnya matahari. Aku lihat
ke arah timur. Tak perlu kompas. Matahari memberikan sinarnya sebagai petunjuk.
Pintarnya aku dan hebatnya Sang Pencipta matahari.
Ketika siang aku aku tak bergeming melihat bayanganku di
aspal. Aku tak suka matahari jam 11. Dan mulai saat itu, aku merasa naïf. Aku seperti
melihat dua matahari di dunia ini. Matahari pagi yang tenang dan ganasnya Si Raja Siang.
Beranjak sore aku bermandikan senja. Ibu berpesan aku tak
boleh mandi terlarut sore. Aku bilang “Bu, aku tidak mandi dengan air. Coba
lihat ke barat, Bu. Itu sesuatu yang lebih menyegarkan daripada
air”. Aku tunjuk semburat oranye di sana dan kubiarkan Ibu duduk di sampingku. Mungkin
segera menyelami pikirnya yang dalam. Di alam pikirmu, tak perlu takut
tenggelam sekalipun kau menyelam ke dasar samudra otakmu.
Malam tiba, aku berteman sepi. Banyak sekali barang
berserakan di lantai kamarku. Dari mulai kaus kaki sampai sikat gigi, pulpen antik
sampai sajak yang belum sempat kuketik lantaran aku hanya bisa mengingatnya tak
lebih dari empat detik. Kemudian ide-ideku kembali menguap. Mentok langit-langit.
Detik ini, aku temukan diriku menatap barisan kata-kata
amburadul yang aku sebut puisi. Entah pantas atau tidak, kalian tak berhak
menghakimi. Cukup nikmati.
Dan kamu, dimanapun keberadaanmu, setajam apapun
kata-katamu, tetap tak bisa menerka apa gerangan yang mendorong Tuhan ciptakan
cinta serumit ini.
22.33
12052012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar