Sabtu, 12 Mei 2012

Rumit

Pagi tadi, aku dibangunkan mimpi. Serela itu ia mengakhiri dirinya sendiri. Karena dia tahu, aku selalu menanti terbitnya matahari. Aku lihat ke arah timur. Tak perlu kompas. Matahari memberikan sinarnya sebagai petunjuk. Pintarnya aku dan hebatnya Sang Pencipta matahari.

Ketika siang aku aku tak bergeming melihat bayanganku di aspal. Aku tak suka matahari jam 11. Dan mulai saat itu, aku merasa naïf. Aku seperti melihat dua matahari di dunia ini. Matahari pagi yang tenang dan  ganasnya Si Raja Siang.

Beranjak sore aku bermandikan senja. Ibu berpesan aku tak boleh mandi terlarut sore. Aku bilang “Bu, aku tidak mandi dengan air. Coba lihat ke barat, Bu. Itu sesuatu yang lebih menyegarkan daripada air”. Aku tunjuk semburat oranye di sana dan kubiarkan Ibu duduk di sampingku. Mungkin segera menyelami pikirnya yang dalam. Di alam pikirmu, tak perlu takut tenggelam sekalipun kau menyelam ke dasar samudra otakmu.

Malam tiba, aku berteman sepi. Banyak sekali barang berserakan di lantai kamarku. Dari mulai kaus kaki sampai sikat gigi, pulpen antik sampai sajak yang belum sempat kuketik lantaran aku hanya bisa mengingatnya tak lebih dari empat detik. Kemudian ide-ideku kembali menguap. Mentok langit-langit.

Detik ini, aku temukan diriku menatap barisan kata-kata amburadul yang aku sebut puisi. Entah pantas atau tidak, kalian tak berhak menghakimi. Cukup nikmati.

Dan kamu, dimanapun keberadaanmu, setajam apapun kata-katamu, tetap tak bisa menerka apa gerangan yang mendorong Tuhan ciptakan cinta serumit ini.

22.33
12052012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar