Senin, 21 Mei 2012

Bukan Desa Bahagia

Di sebuah desa bernama Bahagia, tinggallah Cinta, Harapan dan Cemburu. Mereka hidup untuk saling memenuhi kehidupan satu sama lain. Mereka tak pernah bertengkar lantaran sudah saling memahami karakter masing-masing sejak lama. Mereka sering menghabiskan waktu untuk berbincang di tepi pantai Melinjo. Debur ombak selalu menjadi tarian yang mereka nantikan. Ketika  menjelang sore, tak jarang mereka bertemu dengan Senja. Yang jika dilihat dari tepi pantai akan sangat memanjakan mata siapapun. Itulah salah satu alasan mengapa tepi pantai Melinjo selalu menjadi tempat mereka berkumpul.

500 abad kemudian di tepi pantai Melinjo menjelang sore, tiga kawan karib itu menunggu Senja. Akhir-akhir ini mereka menyadari bahwa ada sesuatu yang pudar dari Senja. Entah apa, belum ada yang bisa memastikan. Ketika ia mulai muncul, Harapan memberanikan diri bertanya, “ Senja, apakah kamu baik-baik saja?”.

“Tentu, Harapan. Memangnya kenapa? Aku kelihatan sakit? Itu hanya perasaanmu saja..” jawab Senja santai. Semburat oranye mulai menyilaukan mata.

“Harapan benar. Aku pun merasa ada yang aneh dengan dirimu.” sahut Cinta. “Semburat oranyemu tak lagi keemasan. Agak sedikit pudar. Dan…ah aku tidak tahu apa namanya. Intinya, kami merasa mulai kehilangan dirimu yang dulu” Lanjutnya mencoba mewakili kedua sahabatnya.

Senja hanya tersenyum. Kawan karib itu berani bersumpah bahwa senyum Senja yang barusan merupakan yang paling manis selama berabad-abad. Entah ini pertanda apa, tapi mereka tidak ingin memikirkan hal yang buruk.

“Aku amat sangat baik. Tak ada yang berkurang dengan oranye yang aku punya sekarang. Mungkin karena kalian terlalu sering melihatku sehingga kepuasan kalian mulai berkurang.” Senja masih menutupi apa yang sebenarnya terjadi.

Cinta, Harapan dan Cemburu menghela napas panjang. Mencoba menghilangkan segala kekhawatiran terhadap Senja. Mereka saling menyayangi. Tak ada yang ingin Senja terluka. Atau bahkan lenyap selamanya. “Baiklah kalau kau sebegitu yakin. Kami pamit pulang. Esok, kami mengunjungimu lagi.” Akhirnya Cemburu berbicara.

“Hati-hati.” Jawab Senja seraya melambai.


Benar saja, esok harinya tiga kawan karib itu berbincang lebih lama di tepi pantai untuk menunggu kedatangan Senja. Mereka tetap khawatir akan keberadaannya. Mereka menunggu dengan sabar. Berbincang sekedar untuk mengisi kekosongan waktu. Tentu saja, tak ada yang ingin melewatkan kehadiran Senja. Setelah sekian lama bercanda tanpa ujung, mereka menyadari sesuatu. Selarut ini kenapa Senja belum juga muncul? Apa yang terjadi? Bulan pun sudah menampakkan hidungnya meskipun sebatang. Mereka takut ada sesuatu yang sangat buruk terjadi pada Senja sehingga absen dari tatap muka dengan Desa Bahagia. Mungkinkah dia menemukan belahan bumi lain yang lebih indah?

Cinta mulai terisak dan berkata, “Kemana Senja? Hiks… apa yang terjadi padanya?”

Harapan mencoba menenangkan. “Jangan berpikir yang aneh-aneh dulu, Cinta. Mungkin Senja hanya butuh istirahat lantaran terlalu lelah menjalani tugasnya sendirian. Kita akan datang lagi besok.”

“Harapan benar. jikapun kita terus di sini, Senja tak mungkin muncul. Bulan sudah menguasai singgasananya.” Jawab Cemburu menanggapi. Mulai menyadari bahwa hari sudah agak gelap.

“Tapi bagaimana seandainya Senja benar-benar menghilang? Apa mungkin masa baktinya terhadap dunia telah habis? Tak bisakah Tuhan memperpanjangnya demi kita? Padahal kemarin ia berjanji akan bertemu dengan kita hari ini. Bahkan dia belum sempat menyampaikan salam perpisahan. “ Cinta panjang lebar menjelaskan kecemasannya.

“Cinta, tidak ada yang tau apa yang terjadi sesaat setelah kita meninggalkan Senja kemarin. Jangan menghakimi siapapun. Kita akan ke sini lagi besok. Semoga Senja sudah lebih baik dan kembali muncul.” Cemburu gantian menenangkan Cinta.

Akhirnya Cinta menurut dan mereka bertiga berjalan pulang ke rumah masing-masing. Segala macam hal berkecamuk dalam hati mereka. Bagaimana keadaan Senja saat ini? Benarkah Tuhan telah mengembaninya dengan tugas lain sehingga tak sempat mampir ke Desa Bahagia? Akankan ada Senja yang baru? Tak ada yang tahu pasti.

Ketiganya tidur dalam keadaan cemas dan waswas. Harapan memikirkan apa yang harus dilakukan seandainya Senja benar-benar menghilang. Cinta tentu tidak bisa membendung kesedihannya. Cemburu tak henti-hentinya berdoa di sela keterjagaannya.

Esok hari, mereka kembali ke tepi pantai. Sepanjang perjalanan, Cinta tak henti-hentinya menghujani Harapan dan Cemburu dengan pertanyaan yang sulit dijawab. Pertanyaan tentang keadaan Senja. Tentu saja, tak ada satu pun yang tahu apa yang sebenarnya terjadi. Harapan dan Cemburu hanya diam mendengarkan ocehan Cinta. Sesekali menanggapi dengan kalimat yang tetap tak bisa membuat Cinta berhenti bertanya.

Sesampainya di tepi pantai mereka langsung terdiam. Senja memang belum saatnya muncul. Mereka mencari tempat duduk yang nyaman. Cinta berada di antara Harapan dan Cemburu. Mereka terpaku menunggu kedatangan Senja. Cinta tak bisa membendung air matanya. Jatuh setitik dan ia buru-buru menghapus. Harapan dan Cemburu tentu mengetahui perihal keberadaan air mata Cinta. Tapi mereka diam. Pura-pura tak menyadari.

Satu tahun, dua tahun Senja tak juga muncul. Kekhawatiran mereka mengklimaks ketika Bulan keluar malu-malu. Cinta tak lagi mampu menahan air matanya. Ia menangis sejadi-jadinya. Muka Cemburu kaku. Tak tahu harus berlari mencari Senja atau tetap diam di sini. Harapan mencoba memulihkan keadaannya sahabat-sahabatnya.

“Benar saja, Senja telah hilang. Mungkin kembali pada tempat asalnya. Aku menyesal kenapa waktu itu tak menunggui Senja jika itu merupakan saat-saat terakhir ia di dunia. Apa yang harus kita lakukan sekarang? Haruskah kita mencari? Haruskan kita tabur bungan di tepi pantai ini??” Cinta akhirnya angkat bicara setelah berhasil mengatur napas akibat air mata yang tak hentinya menetes.

“Tenang dulu, Cinta. Jangan cepat mengambil keputusan. Seandainya Senja benar telah pergi, mungkin itu adalah keadaan yang paling baik. Untuk kita, terlebih lagi untuk dirinya. Kita tak punya kekuatan apa-apa untuk bisa mengembalikannya ke sini. Percayalah, Tuhan punya rencana lain. Kita ikhlaskan saja.” Harapan selalu jadi pihak yang paling bisa menenangkan.

Cemburu terpaku menatap ombak yang menari lebih lambat. Seakan ikut bersedih akan apa yang baru saja dialami Cinta, Harapan dan Cemburu. Kemudian Cemburu bangkit dari duduknya dan mengajak kawan-kawannya pulang. Hatinya kusut. Kebimbangan menyelimuti sebagian dirinya. Cinta dan Harapan mengikuti ajakan pulang Cemburu. Mungkin rumah menjadi tempat yang paling bisa mengerti ketika keadaan sedang pahit seperti ini.

Berabad-abad setelahnya, mereka menjalani hidup  di Desa Bahagia tanpa kehadiran Senja. Agak sulit bagi mereka untuk menerima kenyataan yang ada. Tapi bagaimanapun, hidup ini harus tetap berjalan. Pahit atau manisnya takdir yang telah ditetapkan. Mereka tetap suka bekumpul di tepi pantai meskipun tak lagi bermaksud menunggu kedatangan Senja. Karena siapapun pasti tau, Senja tak mungkin kembali. Hanya tepi pantai itu yang menyimpan kenangan mereka dengan Senja.

Pada suatu hari, datanglah segerombolan manusia ke Desa Bahagia. Entah dari mana asalnya. Cinta, Harapan dan Cemburu menerima keberadaan mereka dengan senang hati. Tanpa tahu apa maksud manusia-manusia itu datang ke sini. Mereka mulai membaur dengan penduduk baru itu. Menjalani hidup ini seperti biasa.

Lama-kelamaan, Cinta, Harapan dan Cemburu mulai merasa ada yang tidak beres dengan kehidupan di Desa Bahagia. Tentu berkaitan dengan hadirnya manusia-manusia itu. Tak sedikit dari mereka yang memanfaatkan Cinta untuk menyambung hidup mereka. Ada yang mengeskploitasi Cemburu secara berlebihan. Bahkan tak jarang Harapan dijadikan sebagai pemanis di setiap kata-kata mereka. Kehidupan Cinta, Harapan dan   Cemburu tak lagi bahagia seperti sedia kala. Terkadang mereka saling cekcok satu sama lain. Mereka jadi jarang berkumpul di tepi pantai. Sekedar untuk menikmati ombak pun terasa tak lagi menyenangkan.

Perlahan, Cinta, Harapan dan Cemburu berniat meninggalkan Desa Bahagia. Kemana saja. Asal tidak bersama makhluk-makhluk serakah yang sekarang menguasai desa. Manusia-manusia itu telah merusak kehidupan sejahtera mereka. Manusia-manusia itu hanya manis di pertemuan awal.

Sebelum akhirnya pergi, mereka memutuskan untuk mengganti nama desa yang telah sekian abad mereka tempati. Agar mereka bisa membangun Desa Bahagia yang lain. Di tempat yang berbeda tentunya. Setelah berunding, sampailah pada keputusan sebuah nama yang baru, yaitu “Bukan Desa Bahagia”.

12.50
21052012

2 komentar: