Aku bersiap menjemput Nina di sekolahnya. Tak jauh dari rumah. Cukup naik sepeda 10 menit dan aku akan sampai di sekolah dasar tempat Nina belajar. Nina duduk di kelas 4. Setelah menempuh perjalanan yang santai, akhirnya aku tiba. Aku menunggu di gerbang depan sekolah. Tempat biasa menjemput Nina.
Tak berapa lama, bel pulang berbunyi. Aku menerka-nerka dimana Nina. Dia terlalu kecil di antara anak SD seumurannya. Entah karena mengikuti jejak tubuh mungilku atau karena penyakit yang mengidap di tubuhnya. Nah itu dia! gumamku dalam hati. Aku melambai pada Nina yang sedang ngobrol dengan teman dekatnya yang aku tau bernama Ratna. Nina melihatku dan tersenyum. Segera mengucapkan salam perpisahan pada Ratna dan menghampiriku.
“Hai Nina. Bagaimana di sekolahmu hari ini?”
“Hai Bunda. Senang sekali! Nina dapat nilai 100 untuk matematika”
“Waw hebatnya! Ayo naik! Kita pergi ke tempat yang paling nyaman sedunia”
“Ayo Bunda! Hahaha”
Begitu setiap hari. Aku selalu melemparkan pertanyaan yang sama. Dan Nina selalu menjawabnya dengan bahagia. Apapun keadaannya. Entah ketika dia hanya mendapat C dalam kelas menggambar atau saat nilai 100 untuk matematika seperti saat ini.
Tempat paling nyaman sedunia yang aku maksud adalah rumah. Rumah yang meskipun mungil, tapi aku, suamiku dan Nina betah tinggal di dalamnya. Selain itu, di halaman samping rumah, kami menanam pohon yang cukup rindang. Dan pohon itu bertambah rindang seiring perjalanan umurnya. Daunnya sudah mencapai atap rumah kami. Pun batangnya kokoh.
Ketika tiba dirumah, langit mulai mendung. Pertanda akan turun hujan. Sekarang ini memang sudah musimnya. Beruntung aku selalu menjemput Nina di awal waktu. Jika tidak, kami pasti akan terjebak hujan.
Setiap pulang sekolah, Nina akan melihat keadaan pohon rindang di halaman samping. Suatu hari Nina pernah bilang bahwa ia menyukai pohon itu. Ketika aku tanya alasannya, dia menjawab dengan polos “soalnya pohon rindang selalu di samping Ayah-Bunda. Nina juga mau sama-sama terus bareng Ayah-Bunda” diam-diam aku menitikkan air mata.
Saat ini pun Nina sedang di halaman samping.
“Nina, ayo cepat masuk. Mendung tuh”
“Iya Bunda. Tengok pohon rindang dulu”
“Jangan lama-lama ya. Bunda tunggu di meja makan”
“Oke!”
Aku masuk ke dalam dan menyiapkan makan siang untuk Nina. Tak beberapa lama, Nina juga sudah di meja makan. Aku siapkan makanan kesukaannya, ayam goreng. Kami makan bersama. Berceloteh ringan tentang apapun.
Lima menit berlalu. Hujan akhirnya tiba. Cukup deras. Disertai angin yang lemah.
Setelah menghabiskan makanan di piringnya dan minum segelas air yang sudah aku siapkan, Nina langsung berlari ke jendela yang tertuju ke arah pohon rindang. Selalu jendela itu. Apapun yang terjadi, Nina akan melihat keadaan di luar rumah melalui jendela itu.
Pohon itu tampak gagah di mata Nina. Dia tak tumbang meskipun di terjang hujan dan angin.
Aku menghampirinya. Tiba-tiba dia berkata
“Bunda, Nina suka loh ngeliat keluar dari jendela ini”
“Loh? Kenapa? Di rumah ini kan jendelanya nggak cuma satu. Tuh ada jendela yang di sebelah sana” kataku seraya menunjuk jendela di dinding sebrang.
“Soalnya cuma dari jendela yang ini Nina bisa lihat pohon rindang. Nina juga mau jadi kayak pohon rindang”
“Kenapa? Nina akan tetap jadi Nina. Dan pohon rindang tetaplah sebuah pohon” entah Nina mengerti atau tidak perkataan ku barusan.
“Pohon rindang besar sekali, Bunda. Dia bisa ngelindungin rumah Ayah-Bunda. Ngelindungin Nina juga. Kalo Nina jadi pohon, Bunda boleh berteduh di bawah Nina” katanya polos. Dengan senyum yang amat berharga bagiku.
Aku tertawa kecil dan tersentak mendengarnya. Sebenarnya tak kuasa menahan ari mata. Tapi aku tak ingin Nina melihatku menangis. Aku tak ingin waktu berlalu terlalu cepat. Mengingat kanker yang bersemayam di otak Nina.
“tanpa jadi pohon pun Nina bisa kok ngelindungin Ayah sama Bunda. Sekarang saatnya tidur siang!”
“ayo ayo Bunda!”
Nina menggandeng tanganku ke kamarnya. Segera ku hapus air mata yang mengambang di sudut mataku.
Sebelum berlalu, aku tutup jendela itu. Jendela yang mengingatkan ku akan keadaan Nina yang sesungguhnya.
“Tuhan, panjangkan umur gadis kecil kami” doaku setiap saat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar