Teruntuk kalian yang memutuskan berpisah dengan jalan cerai.
Hai, om-tante. Kali ini ide saya memilih kalian. Siapapun
itu. Di manapun kalian berada. Semuanya berawal dari percakapan yang saya
dengar beberapa waktu lalu. Perihal anak broken home yang kehidupannya (bisa
dibilang) kacau. Tidak disiplin, suka bolos sekolah, suka berbohong.
Om-tante, apa yang kalian rasakan saat sedang asik-asiknya
memadu kasih? Di mana om berjuang untuk mendapatkan hati tante. Lantas tante
dengan lapangnya menerima om sebagai kekasih. Waktu berjalan, kalian saling
menyamankan satu sama lain. Dengan amat sangat matang, kalian memutuskan
menikah. Om pergi menemui orang tua tante. Dan voila! Kedua keluarga menyetujui
hubungan kalian dan menyegerakan peresmian. Sebut saja, pernikahan. Ingat
bagaimana saat kalian fitting baju pengantin, memesan undangan, katering
makanan dan menyusun daftar kawan dan kolega yang akan kalian undang? Masih
ingatkah itu semua? Apa yang kalian lakukan semalam sebelum upacara sakral itu
berlangsung? Saling memberi kabar kah? Atau malah terjaga sampai waktunya tiba?
Masih ingat, om, tante? Saat hari H di depan mata, seberapa tampan dan
cantikkah kalian berdua? Pangling? Wajar. Yang saya dengar sih pengantin memang
dibikin beda dari biasanya. Entah mitos atau gosip. Sampai tiba pada saat-saat
yang menjadi jantung dari upacara ini. Ijab qabul. Dalam satu tarikan nafas.
Saya selalu membayangkan jika saya ini seorang lelaki, sebagaimana lihainya
lidah saya dalam melafazkan satu kalimat penyatu yang nantinya akan
menghalalkan hubungan kita. Tante, bagaimana rasanya setelah om dengan
lancarnya berhasil melafazkan itu semua? Lega kah? Pasti :)
Bulan demi bulan berlalu. Om berusaha menorehkan karya di
rahim tante. Kalian berdoa. Agarnya buahnya matang. Suatu hari tante mual-mual.
Kalian bahagia. Ini merupakan tanda, karya kalian akan segera bernyawa. Waktu
terus berlari. Sembilan setelahnya, buah kalian lahir ke dunia. Kali ini
lelaki. Calon pejantan yang lebih dari tangguh. Hidup kalian makin terasa
sempurna. Dunia bagai milik kalian bertiga. Larinya waktu semakin cepat.
Om-tante berbuah lagi. Sekarang perempuan. Calon putri yang cantiknya
menandingi bidadari khayangan.
Tahun demi tahun berlalu. Mulai ada kerikil yang menghadang.
Om-tante bertengkar kecil. Dengan anak-anak yang mengintip dari kamar. Mereka
bingung. Salah apa sampai terjadi keributan itu. Lama kelamaan pertengkaran
semakin sering. Bahkan tumpahnya air mata pun menjadi bagian penting. Anak-anak
semakin bingung. Sedih. Tak mengetahui keadaan macam apa ini.
Om-tante terus bertengkar. Satu kalimat saja bisa memancing
kemarahan. Ternyata bukan hanya batu kerikil yang menghadang kalian. Ada batu
gamping, konglomerat, batu apung dan segala batu-batuan lainnya. Kalian seakaan
sulit untuk dipersatukan lagi. Tumpukan batunya sudah terlalu tinggi sehingga
tak ada cara yang bisa meruntuhkannya. Kecuali dengan berjalan sendiri-sendiri.
Dengan berjuta-juta pertimbangan, kalian memutuskan untuk berpisah. Dalih
kalian adalah demi kebaikan bersama. Bersama siapa yang kalian maksud? Anak-anak kalian tentu tak bersama lagi. Sampai
pada akhirnya kalian benar-benar berpisah. Apakah sebelum memutuskan semuanya,
kalian pernah bertanya pada anak-anak, setujukah mereka dengan jalan ini?
Pernah kah? Atau malah sama sekali tak sempat? Atau kalian malah sengaja tak
meminta persetujuan mereka karena kalian pikir mereka hanya anak kecil yang tak
seharusnya dimintai persetujuan atas ini?
Semuanya dimulai. Kalian tak bersama lagi. Masing-masing
sendiri. Kalian terpisah. Pun anak-anak kalian. Keceriaan memudar. Batin mereka
menggusar. Kenapa harus ada yang berpisah padahal Tuhan inginnya kita menyatu?
Coba om-tante pikir kembali. Percayalah, taka da perpisahan yang benar-benar
baik. Semuanya tergantung waktu.
Salam,
U
*Hari ke-17 #30HariMenulisSuratCinta