Di sebuah desa bernama Bahagia, tinggallah Cinta, Harapan
dan Cemburu. Mereka hidup untuk saling memenuhi kehidupan satu sama lain. Mereka
tak pernah bertengkar lantaran sudah saling memahami karakter masing-masing
sejak lama. Mereka sering menghabiskan waktu untuk berbincang di tepi pantai
Melinjo. Debur ombak selalu menjadi tarian yang mereka nantikan. Ketika menjelang sore, tak jarang mereka bertemu
dengan Senja. Yang jika dilihat dari tepi pantai akan sangat memanjakan mata
siapapun. Itulah salah satu alasan mengapa tepi pantai Melinjo selalu menjadi
tempat mereka berkumpul.
500 abad kemudian di tepi pantai Melinjo menjelang sore,
tiga kawan karib itu menunggu Senja. Akhir-akhir ini mereka menyadari bahwa ada
sesuatu yang pudar dari Senja. Entah apa, belum ada yang bisa memastikan. Ketika
ia mulai muncul, Harapan memberanikan diri bertanya, “ Senja, apakah kamu
baik-baik saja?”.
“Tentu, Harapan. Memangnya kenapa? Aku kelihatan sakit? Itu
hanya perasaanmu saja..” jawab Senja santai. Semburat oranye mulai menyilaukan mata.
“Harapan benar. Aku pun merasa ada yang aneh dengan dirimu.”
sahut Cinta. “Semburat oranyemu tak lagi keemasan. Agak sedikit pudar. Dan…ah
aku tidak tahu apa namanya. Intinya, kami merasa mulai kehilangan dirimu yang
dulu” Lanjutnya mencoba mewakili kedua sahabatnya.
Senja hanya tersenyum. Kawan karib itu berani bersumpah
bahwa senyum Senja yang barusan merupakan yang paling manis selama
berabad-abad. Entah ini pertanda apa, tapi mereka tidak ingin memikirkan hal
yang buruk.
“Aku amat sangat baik. Tak ada yang berkurang dengan oranye
yang aku punya sekarang. Mungkin karena kalian terlalu sering melihatku
sehingga kepuasan kalian mulai berkurang.” Senja masih menutupi apa yang
sebenarnya terjadi.
Cinta, Harapan dan Cemburu menghela napas panjang. Mencoba menghilangkan
segala kekhawatiran terhadap Senja. Mereka saling menyayangi. Tak ada yang
ingin Senja terluka. Atau bahkan lenyap selamanya. “Baiklah kalau kau sebegitu
yakin. Kami pamit pulang. Esok, kami mengunjungimu lagi.” Akhirnya Cemburu
berbicara.
“Hati-hati.” Jawab Senja seraya melambai.
Benar saja, esok harinya tiga kawan karib itu berbincang
lebih lama di tepi pantai untuk menunggu kedatangan Senja. Mereka tetap
khawatir akan keberadaannya. Mereka menunggu dengan sabar. Berbincang sekedar
untuk mengisi kekosongan waktu. Tentu saja, tak ada yang ingin melewatkan
kehadiran Senja. Setelah sekian lama bercanda tanpa ujung, mereka menyadari
sesuatu. Selarut ini kenapa Senja belum juga muncul? Apa yang terjadi? Bulan pun
sudah menampakkan hidungnya meskipun sebatang. Mereka takut ada sesuatu yang
sangat buruk terjadi pada Senja sehingga absen dari tatap muka dengan Desa
Bahagia. Mungkinkah dia menemukan belahan bumi lain yang lebih indah?
Cinta mulai terisak dan berkata, “Kemana Senja? Hiks… apa
yang terjadi padanya?”
Harapan mencoba menenangkan. “Jangan berpikir yang aneh-aneh
dulu, Cinta. Mungkin Senja hanya butuh istirahat lantaran terlalu lelah
menjalani tugasnya sendirian. Kita akan datang lagi besok.”
“Harapan benar. jikapun kita terus di sini, Senja tak
mungkin muncul. Bulan sudah menguasai singgasananya.” Jawab Cemburu menanggapi.
Mulai menyadari bahwa hari sudah agak gelap.
“Tapi bagaimana seandainya Senja benar-benar menghilang? Apa
mungkin masa baktinya terhadap dunia telah habis? Tak bisakah Tuhan
memperpanjangnya demi kita? Padahal kemarin ia berjanji akan bertemu dengan
kita hari ini. Bahkan dia belum sempat menyampaikan salam perpisahan. “ Cinta
panjang lebar menjelaskan kecemasannya.
“Cinta, tidak ada yang tau apa yang terjadi sesaat setelah
kita meninggalkan Senja kemarin. Jangan menghakimi siapapun. Kita akan ke sini
lagi besok. Semoga Senja sudah lebih baik dan kembali muncul.” Cemburu gantian
menenangkan Cinta.
Akhirnya Cinta menurut dan mereka bertiga berjalan pulang ke
rumah masing-masing. Segala macam hal berkecamuk dalam hati mereka. Bagaimana keadaan
Senja saat ini? Benarkah Tuhan telah mengembaninya dengan tugas lain sehingga
tak sempat mampir ke Desa Bahagia? Akankan ada Senja yang baru? Tak ada yang
tahu pasti.
Ketiganya tidur dalam keadaan cemas dan waswas. Harapan memikirkan
apa yang harus dilakukan seandainya Senja benar-benar menghilang. Cinta tentu
tidak bisa membendung kesedihannya. Cemburu tak henti-hentinya berdoa di sela
keterjagaannya.
Esok hari, mereka kembali ke tepi pantai. Sepanjang
perjalanan, Cinta tak henti-hentinya menghujani Harapan dan Cemburu dengan
pertanyaan yang sulit dijawab. Pertanyaan tentang keadaan Senja. Tentu saja,
tak ada satu pun yang tahu apa yang sebenarnya terjadi. Harapan dan Cemburu
hanya diam mendengarkan ocehan Cinta. Sesekali menanggapi dengan kalimat yang
tetap tak bisa membuat Cinta berhenti bertanya.
Sesampainya di tepi pantai mereka langsung terdiam. Senja
memang belum saatnya muncul. Mereka mencari tempat duduk yang nyaman. Cinta berada
di antara Harapan dan Cemburu. Mereka terpaku menunggu kedatangan Senja. Cinta
tak bisa membendung air matanya. Jatuh setitik dan ia buru-buru menghapus. Harapan
dan Cemburu tentu mengetahui perihal keberadaan air mata Cinta. Tapi mereka
diam. Pura-pura tak menyadari.
Satu tahun, dua tahun Senja tak juga muncul. Kekhawatiran mereka
mengklimaks ketika Bulan keluar malu-malu. Cinta tak lagi mampu menahan air
matanya. Ia menangis sejadi-jadinya. Muka Cemburu kaku. Tak tahu harus berlari
mencari Senja atau tetap diam di sini. Harapan mencoba memulihkan keadaannya
sahabat-sahabatnya.
“Benar saja, Senja telah hilang. Mungkin kembali pada tempat
asalnya. Aku menyesal kenapa waktu itu tak menunggui Senja jika itu merupakan
saat-saat terakhir ia di dunia. Apa yang harus kita lakukan sekarang? Haruskah
kita mencari? Haruskan kita tabur bungan di tepi pantai ini??” Cinta akhirnya
angkat bicara setelah berhasil mengatur napas akibat air mata yang tak hentinya
menetes.
“Tenang dulu, Cinta. Jangan cepat mengambil keputusan. Seandainya
Senja benar telah pergi, mungkin itu adalah keadaan yang paling baik. Untuk kita,
terlebih lagi untuk dirinya. Kita tak punya kekuatan apa-apa untuk bisa
mengembalikannya ke sini. Percayalah, Tuhan punya rencana lain. Kita ikhlaskan
saja.” Harapan selalu jadi pihak yang paling bisa menenangkan.
Cemburu terpaku menatap ombak yang menari lebih lambat. Seakan
ikut bersedih akan apa yang baru saja dialami Cinta, Harapan dan Cemburu. Kemudian
Cemburu bangkit dari duduknya dan mengajak kawan-kawannya pulang. Hatinya kusut.
Kebimbangan menyelimuti sebagian dirinya. Cinta dan Harapan mengikuti ajakan
pulang Cemburu. Mungkin rumah menjadi tempat yang paling bisa mengerti ketika
keadaan sedang pahit seperti ini.
Berabad-abad setelahnya, mereka menjalani hidup di Desa Bahagia tanpa kehadiran Senja. Agak sulit
bagi mereka untuk menerima kenyataan yang ada. Tapi bagaimanapun, hidup ini
harus tetap berjalan. Pahit atau manisnya takdir yang telah ditetapkan. Mereka
tetap suka bekumpul di tepi pantai meskipun tak lagi bermaksud menunggu
kedatangan Senja. Karena siapapun pasti tau, Senja tak mungkin kembali. Hanya tepi
pantai itu yang menyimpan kenangan mereka dengan Senja.
Pada suatu hari, datanglah segerombolan manusia ke Desa
Bahagia. Entah dari mana asalnya. Cinta, Harapan dan Cemburu menerima keberadaan
mereka dengan senang hati. Tanpa tahu apa maksud manusia-manusia itu datang ke
sini. Mereka mulai membaur dengan penduduk baru itu. Menjalani hidup ini
seperti biasa.
Lama-kelamaan, Cinta, Harapan dan Cemburu mulai merasa ada
yang tidak beres dengan kehidupan di Desa Bahagia. Tentu berkaitan dengan hadirnya manusia-manusia itu. Tak sedikit dari mereka yang memanfaatkan Cinta
untuk menyambung hidup mereka. Ada yang mengeskploitasi Cemburu secara
berlebihan. Bahkan tak jarang Harapan dijadikan sebagai pemanis di setiap
kata-kata mereka. Kehidupan Cinta, Harapan dan
Cemburu tak lagi bahagia seperti sedia kala. Terkadang mereka saling
cekcok satu sama lain. Mereka jadi jarang berkumpul di tepi pantai. Sekedar untuk
menikmati ombak pun terasa tak lagi menyenangkan.
Perlahan, Cinta, Harapan dan Cemburu berniat meninggalkan
Desa Bahagia. Kemana saja. Asal tidak bersama makhluk-makhluk serakah yang
sekarang menguasai desa. Manusia-manusia itu telah merusak kehidupan sejahtera
mereka. Manusia-manusia itu hanya manis di pertemuan awal.
Sebelum akhirnya pergi, mereka memutuskan untuk mengganti
nama desa yang telah sekian abad mereka tempati. Agar mereka bisa membangun
Desa Bahagia yang lain. Di tempat yang berbeda tentunya. Setelah berunding,
sampailah pada keputusan sebuah nama yang baru, yaitu “Bukan Desa Bahagia”.
12.50
21052012